24. Di Mana?

1.8K 189 2
                                    

"KYAAAAAAAA!"

"AAAAAAAA."

"Kau berisik sekali. Tenanglah."

Aku langsung diam. Menutup mataku dan memegang tangan Bule Kesasar dengan sangat kencang. Sampai membuat pemiliknya meringis dan melirik tajam padaku.

Brruukkk ....

"Aasshhh ...."

"Uuhhh, punggungku yang malang," rintihku.

Baiklah, ini sungguh sakit sekali rasanya. Aku jatuh dari ketinggian entah berapa jutaan kaki dari atas, kemudian dihantamkan dengan begitu keras ke tanah. Kuyakin seluruh tulangku sudah menjadi serpihan abu.

"Arrghh."

Kalian tahu? Aku jatuh dalam keadaan terlentang. Aku tidak bisa bayangkan tubuhku yang mungkin sekarang sudah berdarah-darah. Atau otakku yang sekarang sudah pecah tak berbentuk.

Sungguh, aku tak sanggup berdiri lagi. Bahkan untuk membuka mataku saja rasanya seperti kelopak mataku harus mengangkat ribuan beton dalam satu wadah.

Satu kata yang ada di pikiranku saat ini.

Apakah aku sudah mati?

"Hei, bangunlah." Bule Kesasar itu mencolek pinggangku.

Kalian tau rasanya? Sangat mengenaskan. Seperti ada sengatan dan getaran listrik yang mulai merambat dari colekan tangannya ke seluruh tubuhku. Kuyakin saat ini aku sedang kesetrum.

"Hei, kau mau aku mengendalikan tubuhmu? Bangunlah," ucapnya yang sekarang menggoyangkan bahuku.

Aku tahu mungkin saat ini aku sangat alay mendeskripsikan rasa sakitnya. Tapi ini benar-benar sungguh sakit. Aku bahkan tidak tahu kenapa Bule Kesasar itu masih kuat untuk berbicara, dan bangun tanpa meringis sama sekali.

"Jah ... ngaannhh ...." Aku berusaha sekuat tenaga untuk berbicara satu kata itu.

Bagus, hanya berbicara satu kata, rasa sakitnya langsung menyebar. Rasanya kepalaku seperti langsung berputar-putar, bahkan tubuhku seperti bergetar dan terjatuh ke bawah.

Ya Tuhan! Aku ingin pingsan saja!

Aahhh semua ini gara-gara Senior Keparat itu!

Dasar Senior Keparat Bajingan, dia!

Semakin lama, pusingnya semakin bertambah. Tubuhku semakin bergetar dan terjatuh terus ke bawah. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Intinya, aku tidak kuat lagi.

Sepertinya aku sungguh mati setelah ini.

Ah, selamat tinggal dunia.

Maaf aku tak bisa kembali ke Bumi.

"Uh, sial!"

****

Cahaya matahari berwarna kuning terasa mulai memasuki panca indraku beserta panasnya tanpa izin.

Tunggu.

Apa ini cahaya matahari?

Apa aku masih hidup?

Aku langsung membuka mataku dalam sekejap. Rasanya sakitnya mulai sedikit berkurang sebenarnya. Tapi, yang namanya pusing, tetap saja mengganggu.

Kulihat hanyalah atap kayu di atasku. Perlahan aku mulai menggerakkan kepalaku ke kiri dan kanan. Ah, sudah tahun berapa sekarang? Kenapa tubuhku terasa lemas sekali? Seperti tidak pernah kugunakan selama bertahun-tahun.

"Kukira kau sudah mati, Putri Tidur Pemalas."

Menyebalkan sekali. Setidaknya ketika aku sadar, sambutlah dengan baik seperti, "Kau baik-baik saja?", "Kau ingin minum?", atau "Bagaimana keadaanmu?" bukannya justru mengeluarkan kalimat menyebalkan itu.

New World [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang