"Bapak kenapa? Kok pucet banget."
Vely yang akan membacakan jadwal Adjie hari ini batal karena sang bos seperti tidak begitu menghiraukan.
"Vel, kepala saya berat banget. Rasanya pening."
"Wah ini karena nganterin saya semalam ya, bapak pas balik kehujanan kan?"
Vely merasa bersalah karena semalam saat pulang lembur Adjie bersikeras mengantarnya hingga mess.
Padahal seperti lagu lima langkah, mess kantor itu letaknya di komplek belakang gedung Pharmasafe. Tapi karena aksesnya sempit jadi hanya mudah dilewati motor saja.
Mobil bisa masuk tetapi susah untuk putar balik, apalagi mobil pak bos yang besarnya segede rumah.
Akhirnya Vely pulang diantar Adjie. Perjalanan pulang sangat canggung, mereka terjebak dalam situasi tidak nyaman. Baru saja Adjie pamit dan Vely masuk kamar, hujan tiba-tiba turun dengan suara gemuruh yang keras.
"Bapak istirahat dulu deh, saya ambilkan bantal di kabinet."
Vely keluar ruangan Adjie, pria itu mendekati sofa kemudian menyandarkan tubuhnya disana.
Vely kembali dengan membawa selimut dan bantal yang terbungkus plastik, biasanya memang itu dipakai jika ada pegawai yang terpaksa harus menginap.
Vely membantu Adjie melepaskan jas dan dasi, rasa canggung ia abaikan sementara. Mengingat bosnya butuh bantuan.
Adjie merebahkan tubuhnya ketika Vely telah meletakkan bantal diujung sofa. Tanpa aba-aba Vely melepas sepatu Adjie dan menyelimutinya. Adjie sempat mengerang pelan, sepertinya ia menahan sakit yang menyerang.
Setelah meletakkan jas, Vely kembali keluar ruangan menuju pantry. Ia membuatkan teh hangat manis untuk Adjie.
"Pak diminum tehnya."
"Aduh nggak deh Vel, rasanya mual. Badan juga ngilu semua."
"Pak teh hangat bisa bikin relaks, diminum ya pak."
Vely menyodorkan cangkir teh, Adjie duduk dari rebahnya. Vely kira Adjie akan mengambil cangkir dari tangan Vely, tapi ternyata menggenggam cangkir itu bersama dengan tangan Vely yang masih memegangnya.
"Tangan saya kedinginan Vel."
Diam-diam ada rasa nyaman yang tersalurkan menuju telapak tangan Adjie yang menggenggam cangkir, baru kali ini Adjie merasa seperti itu.
"Lhah pak.. kalo gini tangan saya yang kebakar, lepasin dulu pak."
Hah! Adjie membelalakkan mata baru menyadari ia menggenggam Vely. Adjie yang terlihat semakin pucat segera melepaskan tangan, lalu menerima dengan benar dan meminum tehnya sendiri.
Tangan Adjie yang gemetar membuat Vely tak sampai hati melihatnya, diraihnya cangkir itu lagi lalu meletakkannya diatas meja.
"Saya turun dulu pak cari pak Toto beli obat untuk bapak." Vely membuang pandangannya, tak mampu menatap pak bosnya lebih lama.
"Oya Vel, jadwal saya hari ini tolong cansel semua ya, agendakan ulang."
Vely mengangguk pelan.
🍀
Vely bisa saja minta tolong pada Mang Ijul, tapi pagi begini biasanya dia sibuk memenuhi permintaan beberapa direktur bagian.
Biarlah Vely yang meminta bantuan pak Toto, kalau pagi kan petugas security kantor ada tiga orang.
Sampai di pos security Vely segera menemui pak Toto, memberikan satu lembar uang seratus ribuan. Memintanya untuk membeli obat meriang dan bubur ayam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Adjie Tampan
Ficción GeneralAdjie Tama Panduwinata (31 tahun) Mereka memanggilku Adjie Tampan kependekan dari Tama Panduwinata, selain itu memang wajahku diatas rerata. Otak jangan ditanya memiliki IQ 125 pasti kalian tau bagaimana menghadapi orang cerdas sepertiku. Tapi saat...