[Random Chapters Removed - ebook available.]
Asya sebenarnya antusias untuk liputan dan wawancara eksklusif pertamanya, terlebih dia diberi kesempatan untuk meliput Beat-Up, band yang lagi naik daun dengan empat personil ganteng.
Sayangnya yang Asya...
Update lagi. Pengen aja. Wkwk. Tinggal repost ini *kena tabok*
Yang udah baca jangan spoiler ya 🙈
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari ini banyak hal tidak terduga justru terjadi. Tapi, mendapat waktu reuni mendadak di tengah-tengah hancurnya hari ini sama sekali tidak pernah bisa aku bayangkan.
Dan yang ada di depanku bukan hanya sekadar teman SMA biasa, tapi Arjuna. Arjuna Kalandra. Juna. Drummer dari Beat-Up. Atau... oke, oke. Biar aku perjelas. Yang dihadapanku ini Juna, teman SMA-ku, teman satu kelasku, teman sebangkuku selama tiga tahun—bosan nggak tuh kalau teman sebangku kalian itu-itu aja?—yang sekarang berprofesi sebagai seorang drummer dari band kesukaanku sejak kuliah.
It's just too hard to believe all of this.
Saking nggak percayanya, sampai sekarang, di saat kami sudah menempati satu café kecil cukup sepi yang letaknya cukup dekat dari lokasi konser Beat-Up, aku masih belum bisa berhenti menyangga dagu dan memperhatikannya.
Juna yang rambutnya dipangkas ala buzz cut dengan garis-garis kulit kepala kentara di pinggiran kepalanya sudah jadi Juna yang... begini. Gayanya lebih santai dengan kaus hitam yang agak longgar dilapisi jaket jins, rambut hitam dengan potongan undercut, dan juga kebarbaran di wajah yang jelas berkurang dari Juna mode preman masa SMA. It's like I'm sitting with a different Arjuna Kalandra.
"Kenapa ngelihatin gue terus, sih, Sya? Ada yang salah?" tanya Juna, alisnya terangkat selagi dia menyeruput matcha latte pesanannya.
Aku menggeleng, tapi pandanganku tak kunjung beralih. "Gue masih nggak percaya kalau drummer Beat-Up itu benar-benar lo, Jun."
"Lo juga nih, gue kira lo bakal jadi dokter," Juna menimpali dengan kepalanya yang ditelengkan ke kiri. "Masa depan nggak bisa lo perkirakan, kan?"
Ya, iya juga sih. "Tapi, Jun, ini... kayak bukan lo banget."
Juna tertawa—sebenarnya lebih mirip tawa nggak ikhlas sih, tahu kan teorinya kalau tertawa hanya dalam dua suku kata itu masih dianggap tawa yang dipaksakan?—kemudian tangannya bersidekap. "Memangnya gue cocoknya jadi yang kayak gimana?"
"Maksud gue bukan... duh, gimana ya?" Aku menggaruk kepala, malah pusing mencari penjelasan yang tepat. "Yah, sekarang lo tuh one hell of apublic figure, Arjuna. You're an artist! Dari semua anak kelas kita, yang gue rasa malah pas jadi artis tuh Hendrik. Bukannya malah lo."
"Gara-gara acting dia, gitu?"
Aku mengangguk. Mengingat masalah Hendrik, si bendahara kelas langganan yang sukses macarin dua anak IPS secara bersamaan—kata lainnya, dia selingkuh—membuat aku geli sendiri. Ingat banget Hendrik yang gembul gitu sampai disamperin Nanda dan Sonya, dan keduanya kompak nanya siapa pacar Hendrik yang sebenarnya.