3: Crash Mutualism

2.4K 427 116
                                    

Being an adult is not an easy thing to do.

Ketika masih kecil, semua hal terkesan sederhana. Ciuman demi ciuman diterima di pipi, di kepala, bahkan di bibir dan kita menganggap itu semua hanya sebuah bentuk kasih sayang dari keluarga, mengingat kita memang menggemaskan di umur-umur segitu dan cocok untuk dicium terus menerus.

Tapi ketika beranjak dewasa, cara kita menyikapi sebuah ciuman tidak lagi sesederhana itu.

Jadi seseorang, tolong, tolong banget, kasih tahu aku bagaimana caranya aku harus menanggapi ciuman tiba-tiba dari Juna ini?

Beberapa saat aku melongo, berusaha untuk menangkap apa yang terjadi. Kalau ini mimpi, mungkin akan lebih baik. Sekalian aja mimpinya dari bagian aku masuk kerja, jadi semua kesialan ini hanya rekaan dari kepalaku.

But, no. ini nyata. I really just kissed—no, being kissed by a guy.

Mau marah? Oh, jangan ditanya. Hot cocoa milikku yang masih tersisa ingin sekali aku lemparkan ke hadapan Juna. Masalahnya, aku nggak punya kesempatan itu. Karena sebelum sempat membuka mulut pun, sudah ada suara lain yang menyelaku dan Juna. Satu orang wanita muncul lebih dulu sebelum diikuti wanita yang lebih tua. Itu Kak Jeni, kakaknya Juna dan Tante Mira, ibunya Juna.

Matilah aku. Ini aku nggak akan dimarahin dan dituduh cewek yang bukan-bukan kan sama kakak dan ibunya Juna?

Sumpah, Kak, Tante, ini Juna yang mulai duluan!

"Lo gue cariin malah olahraga bibir sama—eh, bentar," pandangan Kak Jeni beralih ke arahku, berjalan mendekat ke arah meja dengan mulut yang terbuka, "kamu teman Juna bukan? Yang suka nyamperin Juna kalau nggak masuk sekolah pas SMA?"

Nah, kan. Mana diingat lagi!

Mungkin aku harus bersyukur kalau yang diingat itu hal baik. Dulu aku memang sering datang ke rumah Juna, but please note aku datang karena disuruh wali kelasku, dan berhubung aku teman sebangkunya, aku disuruh mengingatkan Juna untuk mengerjakan PR dan segala urusan sekolah yang dia lewati karena absen. Sending him a message should be enough. Sayangnya Juna nggak pernah balasan pesan. Aku nggak tahu itu karena dia malas atau nggak ngerti cara membalasnya, tapi itu berhasil buat aku bolak-balik ke rumahnya.

Tapi kalau ketemu dengan cara begini, aku seperti merusak image baikku itu. Percuma.

Canggung, aku mengangguk, berusaha untuk tersenyum sekalipun ada dorongan dalam diri untuk langsung beranjak dari sini. "Halo Kak Jeni."

"Masih ingat aja sih kamu!" Kak Jeni menepuk pundakku dengan semangat, kali ini dia justru menyengir lebar. Bentar deh, kok malah kesannya aku kayak disambut begini?

Tak lama Tante Mira ikut menyusul ke meja, memandangi Juna sambil geleng-geleng kepala. Sesaat aku mengira Tante Mira siap mengomel, tapi kepalanya ikut beralih ke arahku. "Eh, ini Arasya bukan?"

Aku berdiri dari kursi, bergerak mendekat untuk menyalam Tante Mira. "Ha-halo, Tante."

"Udah gede aja kamu." Diperlakukan baik begini jujur malah bikin aku makin deg-degan. "Lagi sama Juna, ya?"

"Hehe. Iya, Tante." Ini hehe yang nggak banget. But trust me, this is the best laugh I can do.

Kutolehkan kepalaku ke arah Juna, memberi kode agar dia menjelaskan semua ini. Tapi alih-alih menjelaskan, Juna justru membuang pandangannya ke arah lain, mengacuhkanku secara terang-terangan.

"Lo harusnya bilang kalau lagi sama Asya, Jun. bukannya malah kabur tiba-tiba. Gue sama Mama sampai nanyain kru sana sini, tahu!" Kali ini Kak Jeni menyalak kesal. "Ternyata malah lagi—"

Beat Up (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang