1

34.3K 913 13
                                    

Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 1

"Terima kasih sudah menolongku, Om," kataku tulus pada seorang pria yang berdiri di samping Nissa--sahabatku.

"Jangan panggil Om. Kumohon," katanya memelas.

Bukannya menanggapi, aku dan Nissa malah tertawa keras. Pria yang kupanggil Om ini adalah sepupu Nissa. Namanya Raka. Selisih umurnya denganku dan Nissa hanyalah empat tahun. Namun, aku sengaja memanggilnya Om karena hanya menirukan Vino--keponakannya. Eh, malah jadi kebiasaan.

"Gak apa-apa kali, Mas. Lucu juga kan dipanggil Om sama gadis cantik ini." Nissa menimpali.

"Ya udah, terserah kalian!" katanya sambil melenggang pergi.

"Eh, Mas! Kok malah pergi? Yang jagain Aruna siapa? Kan Nissa habis ini ada mata kuliah," kata Nissa sedikit mengeraskan suara agar Om Raka mendengarnya.

Om Raka berhenti, lalu berbalik ke arahku dan Nissa.

"Lah, terus aku yang jagain dia?" tanyanya heran.

Aku berada di sini sekarang, di rumah sakit karena aku menjadi korban tabrak lari saat aku akan berangkat kuliah. Kakiku terluka lumayan parah, karena tadi badanku terhuyung hingga jatuh ke aspal, dan kakiku terkena batu. Tapi aku bersyukur, Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup.

"Iya lah, Mas. Siapa lagi coba? Nanti kalau jam kuliahku udah selesai aku langsung ke sini."

"Keluarganya gak ada?" tanya Om Raka lagi.

"Sssst!" Aku melihat mata Nissa memelotot ke arah Om Raka. Mungkin ia merasa takut aku tersinggung dengan perkataan Om Raka.

"Sudah-sudah. Aku gak apa-apa kok sendirian. Om Raka boleh pergi kok," kataku sambil senyum manis ke arah Om Raka. Biar dia terseposa, eh terpesona.

"Dan kamu, Nissa. Kamu buruan berangkat gih! Ntar telat loh."

"Serius?" tanya Om Raka dan Nissa bersamaan.

Aku menyengir, "Iya dong! Aku kan udah gede. Ya kali harus ditemenin terus."

"Ya udah aku pamit. Kamu mau aku anterin gak?" tanya Om Raka pada Nissa. Tapi Nissa menggeleng.

"Kenapa?" tanya Om Raka sembari menaikkan sebelah alisnya. Dia terlihat... Ah, sudahlah.

"Aku kan bawa motor!"

Om Raka mengedikkan bahu acuh. Lalu, melenggang pergi. Hampir sampai pintu ruanganku ia berhenti lalu menoleh, "Assalamualaikum!" katanya, lalu kembali melangkah.

"Dasar aneh! Disuruh jagain bentar aja gak mau!" gerutu Nissa.

"Gak apa-apa, Nis. Mungkin Om Raka emang lagi ada urusan. Berangkat sana!"

"Jadi, kamu ngusir aku?" tanyanya sambil memperlihatkan wajah hendak menangis. Drama. Aku pun hanya tertawa menanggapinya.

"Ya udah aku berangkat, ya? Kamu istirahat gih. Nanti pulang kuliah aku langsung ke sini." Nissa menggenggam tanganku sambil tersenyum. Ah, Nissa. Aku terharu karenamu.

"Iya-iya. Kamu hati-hati di jalan, ya?"

"Oke, Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam."

Aku memperhatikan Nissa yang mulai berjalan keluar hingga punggungnya tak terlihat.

Namaku Aruna. Ya, Aruna tanpa embel-embel apapun. Aku hidup di tengah-tengah keluarga kecilku--Ayah, Ibu dan juga dua adik kembarku. Tapi itu dulu, saat kecelakaan maut itu belum merenggut nyawa mereka.

Saat itu, mereka hendak mengunjungi Nenekku yang berada di luar kota, tanpa aku, karena saat itu aku sedang ada acara kemag di SMA-ku.

Empat tahun hidup sendirian tanpa seorang pun yang menemani memang tak mudah. Saat harapan terakhirku tinggal bersama Nenek pun sirna, selang satu bulan, nenek meninggal. Sedangkan saudara-saudara dari ayah ibuku pun tak ada yang mau memperdulikanku. Jadi, mau tak mau aku mandiri.

Rumah yang dulu lumayan besar aku jual dan kubelikan rumah yang lebih kecil atas bantuan Bu Rina--tetanggaku. Jadi, uang sisanya aku gunakan keperluan hidupku saat aku masih SMA.

Beruntung aku bisa kuliah. Guru BK-ku menyarankanku agar ikut tes bidikmisi. Alhamdulillah, lolos. Jadi, bisa kuliah tanpa bingung bagaimana membayarnya.

Aku bekerja saat pulang kuliah, di toko bunga yang tak jauh dari rumahku. Lumayan, bisa buat makan dan sedikit-sedikit kutabung.

"Sudah makan?" Suara itu membuyarkan lamunanku.

***
Part ini singkat banget, ya 😁
Makasih yang udah mau baca:) Jangan lupa kasih krisan

-Dee

Aku Milikmu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang