29

8K 531 24
                                    

Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 29

Alenta Fahreza
Seperti arti namanya, aku dan Mas Rak berharap baby Reza akan menjadi laki-laki jantan yang memiliki kebaikan hati yang bersinar. Aku bahagia. Kutelisik wajah mungilnya. Tanganku mengusap-usap pelan pipinya tanpa berniat membangunkan tidurnya.

"Tampan kayak aku, ya, Dek?" celetuk Mas Raka tiba-tiba. Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk ia usap-usapkan di rambutnya yang basah.

"Hu'um, Mas. Masa yang mirip aku cuma bibirnya aja." Aku mengeluh dengan suara pelan agar tak mengganggu Reza.

"Gak apa-apa. Nanti kita buat lagi cewek, biar mirip kamu."

Pernyataan Mas Raka barusan membuatku mencubit lengannya. Kini ia berada di sebelah kiri Reza. Sehingga Reza berada di tengah-tengah kami.

"Apa sih, Dek? Tadi ngeluh karena Reza nggak mirip kamu. Terus apa salahnya kalau kita juga punya baby cewek biar mirip kamu." Mas Raka mengelus lengannya yang kucubit. Alay, padahal aku tidak mencubitnya dengan keras.

"Nggak gitu, Mas. Kita baru aja punya baby Reza. Masa udah mikir baby lagi. Nggak kecepetan apa?" tanyaku sewot.

"Lho, yang pengen cepet-cepet siapa? Aku kan cuma nyaranin kita punya baby cewek nanti. Apa jangan-jangan kamu yang ngebet punya baby lagi?"

Aku melongo dibuatnya. Kenapa lagi-lagi aku yang kena. Selalu saja begini. Aku selalu saja kalah berdebat dengan Mas Raka. Mas Raka selalu saja bisa membuatku kesal.

"Ish, Mas!" Aku duduk dan hendak berdiri. Mas Raka tiba-tiba mencekal tanganku.

"Mau ke mana?"

"Ke kamar mandi. Mau ikut?" sinisku sambil memicingkan mata.

"Boleh!" balas Mas Raka semangat. Ish apaan sih dia ini. Jika boleh aku ingin menenggelamkan diri saja. Suamiku benar-benar usil.

"Mas!" sentakku kesal

Tak ada balasan apa-apa. Hanya Mas Raka yang tertawa namun tak terlalu keras. Tanpa menghiraukannya, aku memilih masuk ke kamar mandi.

***
Mas Raka benar-benar terlihat menyayangi Reza. Ia bahkan sekarang lebih semangat bekerja agar cepat pulang. Karena memang ia sudah diberi peringatan oleh mama agar tidak pulang seenaknya seperti dulu saat aku hamil.

Aku pun paham. Mama yang sudah tak lagi muda seharusnya tidak bekerja terlalu lelah. Dan ini menjadi kewajiban Mas Raka sebagai anak satu-satunya untuk mengambil alih kerjaan mama yang akan membuatnya lelah.

Apalagi kehadiran baby Reza membuat mama lebih sering main ke rumah kami. Saat menjelang sore mama selalu datang sekadar mampir, atau bahkan berlama-lama sampai malam tiba.

Sebenarnya aku dan Mas Raka mengajak mama tinggal dengan kami. Tapi mama menolak keras. Mama berpikir kalau ia masih cukup sehat untuk mengurus dirinya sendiri sehingga tidak perlu tinggal bersama kami. Mau tidak mau aku dan Mas Raka menurut saja.

Aku melirik jam dinding. Pukul empat. Mas Raka belum pulang. Mungkin sebentar lagi ia akan pulang.

"Ululu anak bunda melek. Kenapa, Sayang? Capek tidur terus, ya? Dari tadi siang merem terus." Aku menimang-nimang Reza yang kini terjaga. Sejak tadi siang ia memang tidur.

Reza tersenyum menampakkan gusinya yang belum tumbuh gigi. Pipinya gembul. Dan tunggu, ia memiliki lesung pipi? Ah, semakin mirip ayahnya saja.

Pukul lima, Reza kembali terlelap. Aku kesepian. Raka belum juga pulang. Apa mungkin ada lembur, ya? Kok gak ngabarin?

Aku Milikmu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang