28

7.6K 500 17
                                    

Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 28

Begitu cepatnya waktu berlalu. Tanpa kusadari lima hari lagi sudah menuji HPL. Perutku sudah sering berkontraksi. Tapi saat kuperiksakan ke dokter katanya hanya kontraksi biasa.

Perasaan bahagia sekaligus takut sering hinggap. Bahagia karena sebentar lagi bayiku akan lahir. Dan takut jika aku tak diizinkan melihat wajah bayiku saat sudah lahir.

"Mikirin apa, Sayang?" tanya Mas Raka tiba-tiba. Terdengar langkahnya mendekatiku, lalu tanpa aba-aba ia memelukku dari belakang. Memang sejak perutku membesar ia lebih suka memelukku dari belakang. Katanya agar bisa erat sekaligus tidak takut mengenai perutku.

Saat ini aku duduk di atas ranjang. Novel karya Noviyanti yang berjudul Minutes of Heart hanya kupegang karena aku sudah selesai membacanya.

"Gak apa-apa, Mas. Cuma lagi mikirin, anak kita nanti laki-laki atau perempuan, ya?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya yang kini meletakkan dagunya di atas pundakku. Tangannya memegang tanganku yang mengusap-usap perutku.

"Ya mana aku tahu, Dek. Kamu aja gak pernah mau diajak USG."

Benar. Sudah sejak usia kandunganku tujuh bulan, Mas Raka memintaku USG agar mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandunganku. Begitu pun mama. Aku aku bersikeras tak mau. Aku mau jenis kelamin anakku menjadi kejutan saja.

"Penasaran kan jadinya," ejek Mas Raka sambil mencium pipiku gemas. Dan aku hanya bisa membalas dengan mencubit perutnya.

"Awh!"

Tiba-tiba perutku terasa mulas. Mungkin ini kontraksi seperti biasanya. Tapi mungkin juga tidak. Rasanya bahkan lebih sakit daripada biasanya.

"Kenapa, Dek?" tanya Mas Raka kebingungan.

"Sakit, Mas." Aku mencengkeram lengan Mas Raka dengan kuat. Rasanya benar-benar sakit. Keringan dingin pun sudah mulai membanjiri tubuhku.

"Sabar, Sayang. Kita ke rumah sakit." Mas Raka menggendongku dan berjalan perlahan menuju mobil. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir. Bahkan ia ikut meringis saat melihatku meringis.

Aku ingin menangis. Bukan karema aku mengeluh merasakan rasa sakit ini. Aku hanya membayangkan bagaimana bunda dan ibu-ibu lain melahirkan anaknya.

Mas Raka sama sekali tak melepaskan genggaman tangannya. Berkali-kali ia menenangkanku. Sesekali mencium punggung tanganku.

Setelah sampai di rumah sakit aku segera diperiksa dan ternyata sudah bukaan lima. Sehingga aku langsung dipindah di ruang bersalin.

"Mas, sakit," desahku sambil terus mencengkeram lengannya.

"Istighfar, Sayang." Mas Raka dengan sabar menemaniku. Menenangkanku dengan sesekali mengecup puncak kepalaku tanpa mempedulikan cengkeraman tanganku.

Ya Allah, beri aku umur panjang. Aku sangat ingin melihat bayiku.

Dokter memberitahukan kalau bukaan sudah lengkap, sehingga bayiku sudah siap dilahirkan. Aku mengikuti segala intruksi yang diberikan dokter.

Tak butuh waktu terlalu lama. Akhirnya aku dapat mendengar tangisan bayiku. Terdengar orang-orang di ruangan ini mengucap Alhamdulillah termasuk aku dan Mas Raka.

"Dek!" Suara itu menjadi yang terakhir kudengar sebelum semuanya menggelap.

***

Tidurku terusik. Kurasakan sebuah tangan menggenggam tanganku erat. Aku pun membuka mata. Dan yang kulihat pertama kali adalah Mas Raka. Matanya memerah, apa ia menangis?

"Alhamdulillah kamu udah sadar, Sayang. Aku khawatir banget," ujarnya sambil mencium tanganku.

"Aku gak apa-apa, Mas. Bagaimana anak kita?" tanyaku dengan suara serak.

Aku Milikmu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang