24

10.8K 689 68
                                    

Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 24

Hari ini berbeda, tentu saja. Aku sama sekali tak ingin membuka percakapan dengan Mas Raka. Perkataannya tadi malam benar-benar berefek buruk pada keadaan hatiku.

"Bi, maaf ya aku gak ikut bantu. Gak tau nih kaki aku pegel-pegel," kataku merasa tidak enak pada Bi Minah yang sibuk memasak, sedangkan aku hanya duduk memperhatikannya.

"Gak apa-apa, Mbak. Lagian kan memang ini tugas saya. Tadi Mbak bilang kakinya pegel?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Sejak kemarin memang kakiku terasa pegal-pegal. Entak kenapa.

"Nanti Bi Minah pijitin, ya?" tawar Bi Minah. Aku ingin mengiyakan. Namun rasanya tak enak juga jika harus meminta Bi Minah memijit kakiku padahal sudah mengerjakan banyak pekerjaan.

"Gak usah, Bi. Gak apa-apa. Nanti mungkin sembuh."

"Ya udah nanti kalau misal pengen dipijit bilang sama Bibi, ya?"

Aku mengangguk sambil mengangkat tanganku pertanda setuju.

"Bi, dulu pas hamil Bibi sering mual juga?" tanyaku saat Bibi duduk di sampingku sambil menunggu air mendidih.

Bi Minah bercerita banyak. Mulai dari kehamilan pertamanya yang membuatnya mual setiap hari, sampai kehamilan seterusnya yang tak mual sama sekali. Aku mendengarkannya dengan saksama, sampai suara Mas Raka mengalihkan perhatian kami.

"Aku berangkat kerja dulu," katanya dingin.

"Gak sarapan dulu?"

"Gak usah. Sarapan di kantor aja." Mas Raka membalikkan badannya hendak beranjak.

"Gimana sih, Mas? Bi Minah udah repot-repot buatin sarapan kok malah langsung berangkat sih!" kataku dengan nada tinggi tak terkontrol.

Bagaimana tidak? Ia begitu mengesalkan bukan? Bi Minah sedang membuatkan sarapan untuknya. Tapi ia malah seenaknya mau langsung berangkat kerja.

"Aku buru-buru," jawabnya santai sembari kembali melangkah.

Aku merengut kesal membiarkan kepergian Mas Raka. Aku mulai lelah. Entahlah, kalau begini terus mungkin lama kelamaan aku akan menyerah. Baru seperti ini saja, hatiku sudah tak karu-karuan rasanya.

"Sabar, Mbak." Bi Minah menepuk pelan punggungku menenangkan.

"Dia ngeselin, Bi. Masa Bibi udah masak repot-repot malah gak dimakan," kataku sewot. Dadaku naik turun menahan marah.

"Sabar. Gak apa-apa. Kan bisa dimakan Mbak Aruna."

Benar. Aku akan memakannya bersama Bibi. Biar saja. Nanti Bibi juga akan kularang memasak makan siang.

***

[Sayang, lima belas menit lagi mama sampai di rumahmu, ya?]

Sebuah pesan masuk dari mama. Sore ini mama mengajakku keluar. Jalan-jalan, katanya. Tentu saja aku menerima ajakannya. Dari pada di rumah bosan, lebih baik aku ikut mama jalan-jalan.

[Iya, Ma. Ini abis mandi tinggal siap-siap]

Aku mematut diriku di cermin. Kuelus kedua pipiku. Kuperhatikan wajah putih bersihku di cermin. Mungkinkah aku sudah tak cantik? Atau bahkan memang tak pernah cantik di mata Mas Raka?

Aku memang tak pernah memakai skincare mahal. Aku hanya rajin merawatnya saja. Memang, aku tak secantik gadis-gadis di luar sana. Tapi, apakah wajahku yang seperti ini benar-benar tak membuat Mas Raka berpaling padaku?

Aku memakai bedak tipis di wajahku. Mengoleskan eyeliner, lalu lipbalm aroma strawberry yang menjadi favoritku sejak aku masih menjadi mahasiswa baru.

Aku Milikmu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang