15

10.9K 532 37
                                    

Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 15

"Dek, beli cilok yang di deket rumah aja, ya?" tanya Om Raka dengan masih fokus menyetir.

"Terserah Mas Raka aja."

Hari sudah hampir sore. Aku jadi sedikit malas.

"Oke. Nanti sekalian mampir ke supermarket buat beli keperluan-keperluan. Soalnya di rumah gak ada apa-apa."

"Hmmmm," gumamku menanggapinya. Tiba-tiba mataku sangat berat. Aku sangat mengantuk.

***

"Dek, bangun!" Aku merasakan tangan seseorang menepuk-nepuk pipiku. Aku mengerjap perlahan. Ternyata Om Raka.

"Sudah sampai? Mana tukang ciloknya, Om?"

"Ini udah sampai rumah, Sayang. Kamu ketiduran."

Ha? Aku tertidur di jalan? Padahal jarak rumah mama dengan rumah Om Raka tak terlalu jauh.

"Kok udah nyampe rumah? Gak jadi beli cilok dong?"

"Udah aku beliin kok. Itu di belakang sama keperluan-keperluan rumah."

Aku melongo dibuatnya. Aku sama sekali tak merasa tadi berbelanja, apalagi membeli cilok. Mungkinkah Om Raka sendiri yang berbelanja?

"Gak usah heran gitu. Tadi kamu tidurnya pules banget. Aku sampai gak tega banguninnya."

Uhm, Om Raka. Manis banget sih. Gak nyesel aku nikah sama om-om kali ini. Aku menepuk pelan pipiku menyadari pemikiran konyolku. Mungkin ini efek bangun tidur.

"Ayo, turun."

Om Raka keluar dari mobil, lalu mengambil beberapa kantong plastik yang berada di jok belakang.

"Sini Runa bantu, Om," tawarku saat melihat Om Raka sedikit kewalahan menutup pintu.

"Gak usah. Kamu bantu tutup pintu mobil aja." Om Raka beranjak setelah mengatakan itu. Ia berjalan dahulu ke arah pintu.

Aku menutup pintu mobil lalu mengikuti Om Raka. Rumah Om Raka memang tak sebesar rumah milik mamanya. Tapi jujur, bila dilihat dari depan rumah Om Raka terlihat lebih indah. Apalagi banyak sekali tanaman bungan di halamannya.

"Run, tolong bukakan pintu. Kuncinya ada di saku kemeja."

Aku menuruti perintah suamiku. Mengambil kunci rumah di saku kemejanya, lalu menggunakannya untuk membuka pintu.

Aku membiarkan Om Raka berjalan mendahuluiku dan aku mengekorinya. Ia berjalan ke arah dapur dan meletakkan belanjaan di meja dapur.

"Nih ciloknya." Om Raka menyodorkan sebuah kantong plastik kecil. Di dalamnya terdapat cilok yang sudah hangat, tak lagi panas.

"Tapi es krimnya belum aku beliin. Takutnya keburu cair." Om Raka kini duduk di kursi meja makan. Membiarkan barang belanjaan tergeletak di meja.

Aku pun berdiri dan hendak menatanya. Tapi tangan Om Raka menahan pergelangan tanganku.

"Nanti aja. Kamu makan ciloknya dulu, keburu dingin."

Aku menggeleng. "Gak ah, Mas. Tanggung, sekalian aja aku tata dulu. Mas mandi aja dulu terus salat ashar, nanti gantian Aruna."

"Gak mau jama'ah?" tanyanya sembari mengangkat sebelah alisnya.

"Ya bukannya gak mau sih. Tapi aku tahu Mas Raka pasti udah gerah dan capek. Jadi, Mas duluan aja gak apa-apa," kataku tulus. Bagaimanapun tadi aku telah membiarkannya berbelanja sendirian. Padahal yang harusnya belanja kan aku?

"Pengertian banget sih bocilku," celetuk Om Raka sembari menarik pelan hidungku. Menyebalkan.

"Bocil lagi ...." Aku merengut dibuatnya. Ia kembali menyebutku bocil. Padahal aku sekarang sudah sering memanggilnya 'mas'.

Aku Milikmu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang