3

13.5K 559 1
                                    

Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 3

Tiba-tiba ide iseng muncul di kepalaku. Aku menatap tangannya yang masih diam. Mungkin ia benar-benar akan menyuapiku.

"Aw!" pekiknya saat aku dengan sengaja menggigit tangannya.

Hahaha. Tawaku semakin meledak saat ia meringis kesakitan. Dasar lebay. Padahal aku tak begitu keras menggigitnya.

"Kenapa kau menggigit tanganku, Run?" tanyanya kesal dengan menyipitkan kedua matanya.

Apel yang yang semula ia pegang kini ia letakkan di meja. Sedangkan kedua tangannya dilipat di depan dada. Apa ia sedang ingin membuatku takut?

"Tidak apa-apa, Om. Ini semua balasan untukmu karena sudah mengerjaiku."

"Mengerjaimu bagaimana, heh? Aku justru berniat membantumu, aku akan menyuapimu karena katanya tanganmu sakit. Eh, malah kamu gigit."

Aku menahan tawa saat Om Raka mengomeliku. Biar saja, aku sama sekali tak takut padanya. Justru ia terlihat saat mempesona. Ups!

"Gak usah ketawa!" katanya ketus.

"Dih! Siapa yang ketawa?" tanyaku tak kalah ketus. Tapi bila kuakui, Om Raka kali ini sangat lucu.

Om Raka mendengus kesal. Ia melirikku jengah, lalu duduk di kursi sampingku dengan mengalihkan wajah ke pintu.

"Apa kau sedang merajuk, Om? Jangan merajuk lah, Om. Nanti tampannya ilang," kataku menggodanya.

"Tidak akan, Run! Kadar ketampananku terlalu banyak. Bahkan saat marah pun aku masih terlihat tampan," jawabnya dengan percaya diri.

"Heleh. Lebih banyakan kadar ke-pede-anmu, Om. Aku tak menyangka jika kau sangat percaya diri sekali."

"Tentu aku percaya diri." Om Raka kini mengalihkan pandangannya ke arahku dengan tatapan yang mengesalkan.

"Aku tampan, bahkan kau sampai terpesona," lanjutnya.

"Eh? Siapa yang terpesona?" tanyaku gelagapan.

"Kamu lah, Run. Mengaku saja, kamu kan tadi memperhatikan wajahku yang tampan ini."

Blushing

Ah, ini memalukan. Kenapa Om Raka harus menyinggung masalah ini? Mengingatkanku saat aku tertangkap basah sedang memperhatikannya.

"Assalamu'alaikum!" Tiba-tiba suara seorang gadis mengalihkan perhatianku dan Om Raka. Sontak aku dan Om Raka menoleh ke sumber suara, ternyata Nissa.

"Wa'alaikumussalam," jawabku dan Om Raka hampir bersamaan.

Aku bersyukur dengan kedatangan Nissa. Om Raka tidak akan meneruskan pembahasan tadi yang akan membuatku malu dan bingung.

"Eh, ada Mas Raka."

"Iya ini katanya kamu nyuruh aku nemenin bocah ini," jawab Om Raka sambil melirikku.

"Bocah gimana sih, Om? Aku udah mahasiswi loh!"

"Bodo amat! Badan segede bocah SD gitu kok."

Apa Om Raka sedang mengejekku? Ah, dia benar-benar menyebalkan.

"Dasar om-om gila!"

Om Raka menatapku sengit. Aku pun tak mau kalah, aku pun menatapnya tak kalah sengit. Apa dia mengira aku takut padanya. Tidak sama sekali!

"Eh, udah-udah. Kalian ini suka sekali ribut. Mas Raka juga nih seneng banget sih jailin Aruna." Nissa menengahi.

"Iya tuh, Nis. Dasarnya emang masmu itu gila."

Om Raka terlihat kesal dan ia memelototiku. Tapi aku tak menghiraukannya.

"Sudah-sudah, kamu udah makan?"

Aku menggeleng. Karena aku memang belum makan. Nissa melirik kantong plastik yang berada di nakas. Ia mengambil bubur di dalamnya.

"Ini kamu yang beli, Mas?" tanya Nissa dan dibalas anggukan oleh Om Raka.

"Kamu makan, ya, Run. Aku yang suapin," ujar Nissa begitu lembut. Entah bagaimana aku berterima kasih dengan sahabatku yang satu ini. Ia begitu baik padaku.

"Gak usah, Nis. Aku bisa sendiri kok. Kamu istirahat aja, kan baru pulang kuliah."

"Gak apa-apa, tanganmu ada yang luka gitu kok," jawabnya melirik tanganku.

Aku tersenyum dan menerima suapannya. Ia begitu telaten menyuapiku. Dan ia kini duduk di kursi samping ranjangku. Sedangkan Om Raka telah duduk di sofa dan mungkin sedang memainkan game di ponselnya, karena terlihat ia memiringkan ponselnya.

Tiba-tiba ponsel Nissa berdering. Ia meletakkan bubur di nakas, lalu mengangkat teleponnya tanpa beranjak. Aku dapat sedikit mendengarnya kalau itu suara wanita, mungkin ibunya.

Tak lama ia menutup ponselnya. Lalu menatapku.

"Run, aku harus pamit dulu. Bunda menyuruhku pulang. Gak apa-apa kan?"

Aku tersenyum seraya berujar, "Gak apa-apa, Nis. Makasih, ya, atas bantuannya."

Nissa berdiri mengelus tanganku. "Aku pamit, ya. Cepet sembuh."

Nissa beranjak dan menghampiri Om Raka. "Mas, kamu jagain Aruna dulu, ya. Kamu suapin gih! Aku disuruh Bunda pulang," pamitnya pada Om Raka.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanyanya terlihat khawatir.

"Tidak, tenang saja. Aku pamit, Assalamualaikum."

Nissa melangkah keluar. Tapi sebelumnya ia menoleh ke arahku dan melambaikan tanggannya, tak lupa dengan senyum manis yang menghiasi wajah cantiknya.

Aku melirik bubur yang berada di nakas. Aku harus makan, aku tak mau berlama-lama di rumah sakit. Cukup luka di kakiku saja, aku tak mau menyakiti lambungku.

Bagaimanapun aku harus segera sembuh agar bisa bekerja. Karena mungkin tabunganku akan kembali menipis karena biaya rumah sakit ini. Ayah... Ibu... Ternyata hidup tanpa kalian benar-benar berat.

Aku mengambil bubur itu dan ingin segera memakannya. Tapi tiba-tiba tangan kekar itu merebutnya, Om Raka.

"Gak usah dipaksakan," katanya singkat.

Memang benar, aku sedikit kesusahan saat akan makan.

"Aaa," ujarnya sembari menyodorkan sesendok bubur.

Aku yang mendadak tak ingin ribut dengannya pun segera membuka mulut dan menerima suapannya. Suapan demi suapan pun ia berikan padaku sampai bubur itu habis dengan hening. Tak ada sepatah kata pun keluar darinya pun dariku.

"Run, aku harus pulang. Gak apa-apa kan kalau aku tinggal?" tanya Om Raka terlihat tidak enak.

"Gak apa-apa, Om Raka yang ganteng!" jawabku dengan menekan kata 'Om Raka yang ganteng'. Jiwa usilku mulai kembali hadir. Aku sangat senang menggodanya.

"Huuffft. Tak bisakah kau mengganti kata Om menjadi Mas saja? Aku akan lebih senang mendengarnya," katanya kesal.

"Tentu tidak, Om! Aku sangat suka memanggilmu, Om. Itu terdengar lebih manis." Aku tersenyum menang melihat wajah kesalnya.

"Ah, terserah kau saja. Kau memang gadis keras kepala. Kalau begitu aku pulang saja," ujarnya pasrah.

Aku mengangguk, "Iya, Om. Terima kasih," ujarku sambil tersenyum.

"Sama-sama, cepet sembuh. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Om Raka mulai beranjak. Aku memperhatikan punggungnya sampai ia benar-benar menghilang di balik pintu. Aku tersenyum saat mengingat ia tadi tersenyum manis. Ia terlihat semakin tampan.

Hahaha. Apa aku mulai tertarik dengan Om-om? Eh, tunggu dulu! Ia kan bukan om-om hidung belang yang beristri. Ia pria muda. Tak apa kan kalau aku tertarik padanya? Ups! Bicara apa aku ini.

Aku memilih memejamkan mata. Tak ingi memikirkan banyak hal lagi. Aku memilih tidur, berharap keadaanku akan segera membaik nanti.

Aku Milikmu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang