27

7.6K 532 22
                                    

Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 27

"Sayang, sudah kubilang jangan makan makanan yang pedes," teriak Mas Raka heboh dari pintu ruang makan. Terlihat ia berjalan ke arahku.

Aku merengut kesal. Mana mungkin aku berani makan makanan pedas setelah mendapat peringatan dokter dulu.

Mas Raka duduk di sampingku. Tawanya pecah melihat mangkukku yang berisi seblak entah berwarna apa. Aku ingin seblak, tapi aku gak boleh makan pedas. Jadilah seblakku tak ada bubuk cabainya. Hambar, seperti hidup jomblo yang tak punya penyemangat. Ehh.

"Jangan tertawa, Om!" sentakku kesal. Lihatlah ia sampai memegang perutnya karenan terlalu terbahak.

"Eh, maaf, Sayang. Lucu aja," katanya di sela tawanya. Masih saja enggan berhenti sepertinya.

Aku mencubit perutnya kesal. Ia pun berhenti, dan menahan tawanya.

"Ampun, Sayang, ampun! Untung lagi hamil, kalau nggak...." Mas Raka menggantungkan perkataannya, membuatku menaikkan alisku sebelah.

"Kalau nggak apa?" tanyaku menantang.

"Kalau nggak, bakal kuterkam kamu," balasnya dengan menyeringai.

Aku bergidik ngeri menatapnya. Tapi setelahnya aku menjulurkan lidahku. Kan kalau nggak, nyatanya sekarang aku hamil. Hahaha.

"Awas ka-"

Perkataan Mas Raka otomatis terpotong saat aku dengan sengaja memasukkan sesendok seblak yang kumakan. Raut wajahnya seketika berubah, tapi ia tetap menelan seblak yang kusuapkan. Tak kuasa aku menahan tawa, hingga akhirnya tawaku pun pecah.

Mas Raka menatapku serius, membuatku berhenti tertawa. "Kamu doyan seblak ini, Dek?" tanyanya sembari menunjuk seblak yang ada di depan kami.

Aku mengangguk pasti. Aku hampir menghabiskannya, tinggal setengah mangkok. Hitung-hitung mengobati rasa inginku memakan seblak. Meskipun rasanya, ya begitulah.

"Kasihan banget sih istriku, sayangku, cantikku, manisku, bocilku," katanya panjang lebar dengan memainkan kedua pipi gembulku.

"Biasanya aja pedesnya level tinggi, eh sekarang malah tak berlevel. Hahaha." Tawanya kembali meledak. Oh, God. Kenapa balasanku tak berpengaruh sama sekali. Malahan dia kembali meledekku.

Aku berdecak sebal. Sendok yang kupegang kuletakkan di mangkok sedikit kasar. Sehingga menghasilkan suara dentingan yang sedikit keras. Mas Raka terlihat tersentak sebelum aku memilih membalikkan tubuh hingga membelakanginya.

"Hei. Maaf, Sayang. Aku hanya bercanda," ujarnya dengan memegang kedua pundakku. Tapi aku bergeming.

"Ayolah, Sayang. Jangan merajuk begitu. Sungguh, aku cuma bercanda."

Lagi, aku bergeming. Justru air mataku membendung di kelopak mataku. Dan aku berhasil terisak.

"Hei, Sayang!" Mas Raka memelukku dari belakang menenangkanku. Tangannya mengusap lembut perutku. Sesekali ia mencium pipiku dari arah samping.

Aku pun semakin terisak. Aku tak menghiraukan perlakuannya. Hingga ia memilih berpindah duduk agar berada di depanku.

Aku ingin berbalik badan, namun kedua tangan Mas Raka menangkup wajahku.

"Maafkan aku, Sayang."

Cup!

Mas Raka mengecup dahiku sekilas.

Cup!

Ia mengecup hidungku.

Cup!

Aku Milikmu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang