"Hobi banget lo di sini," kataku sambil duduk di kursi yang ada di rooftop. Kursi ini juga yang kemarin ingin kutendang saat aku disuruh Bu Mawar memanggilnya.
"Ya, begitulah." Aku melihatnya mengeluarkan buku matematikanya. Juga dengan alat tulisnya.
Karena dia malah beralih untuk duduk di bawah, aku lekas turun dan membuatnya terkejut."Udah lo di atas aja gapapa, gua terangin di sini," jelasnya dengan tangan yang menepuk bukunya di atas kursi.
"Gapapa, lagian mending gini." Di sini tidak ada meja, itulah penyebabnya.
Tanpa basa-basi, dia lekas menjelaskan soal nomor tiga itu. Aku mendengarkannya dengan baik sambil sesekali memiringkan kepalaku saat aku merasa belum paham. Namun sedetik kemudian, abjad 'o' terus saja dilafalkan dari mulutku.
"Paham?" Aku mengangguk mantab.
"Mungkin lo salah langkah dari sini. Mending dipindah ruaskan dulu biar gampang ngerjainnya. Kalau dari sini terus, sulit ngitungnya," katanya menunjuk tulisannya yang membuatku salah fokus itu. Seperti tulisan dokter. Saking rapinya—
"Ini apa?" —sampai membuat mata orang lain buram.
"Pi."
Lagi-lagi aku melafalkan 'o'. Aku terus memahaminya benar-benar karena tidak mungkin aku meminjam bukunya untuk kufoto. Untuk murid sepertiku dan sepertinya, aku merasa itu tidak pantas.
"Katanya lo anak peringkat satu seangkatan, ya?" tanyanya. Aku tersenyum menanggapi itu.
"Itu dulu, kelas 10."
"Emang beda sama sekarang?"
"Beda, lah. Sama kayak lo. Dulu gua belum pernah lihat nama lo di peringkat atas, kenapa tiba-tiba datang jadi si nomor dua?"
"Itu semua gara-gara lo."
Hah? Dahiku berkerut. Apa maksudnya itu gara-gara aku? Sebelum aku menanyakannya padanya—
"Lo sendiri kenapa tiba-tiba di bawah sepuluh besar?"
Dia membalikkan pertanyaanku. Aku benar-benar tidak menyangka dia membuatku seperti ini. Baru kali ini ada yang berani membalikkan pertanyaanku. Seketika aku teringat dirinya mengejekku bawel kemarin.
"Eh, woy! Jangan nangis, atuh! Maaf!" paniknya yang melihatku menggosok mataku.
"Kelilipan, woy! Bukan nangis!" kesalku menunjukkan mataku. Dia pun mundur karena sebelumnya sempat maju.
"Ngga, deh, ngga. Ga bahas lagi," katanya sambil menyisir rambutnya ke belakang. Aku terdiam akan hal itu.
"Oh, iya." Dia seperti baru mengingat sesuatu. Pandangannya menuju atas dengan tangan yang masih memegang kepalanya.
"Gua mau minta saran sama lo."
"Saran apaan?" Aku meliriknya julid. Tubuhku juga sempat menjauh satu cm darinya.
"Kalo seandainya lo sama sahabat lo suka dengan orang yang sama. Lo bakalan ngalah apa ngerebut?"
"Hah? Ngerebut? Yakali! Nggak, lah!" Bukannya menjawab dengan kalem, aku malah sedikit emosi dengan itu.
"Berarti lo bakal ngalah?"
"Y-ya, ya, ga gitu juga." Soobin menatapku seakan aku tidak bisa menjawab hal ini. Aku tidak terima dengan itu.
"Tapi, ya.. menurut gua, kalo lo emang suka dan cinta sama seseorang, perjuangin dulu. Kalo seandainya seseorang itu bukan buat lo, lo ga boleh maksa. Relakan dia dengan orang lain. Lagian seseorang yang lo cinta itu belum tentu cinta sama lo juga 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Oke ft.Lia ITZY (END)
FanfictionSemua orang mengenalnya, aku saja yang terlambat. Ketika orang-orang mengumpulkan fokus ke arahnya, aku menoleh arah lain. Waktu memang tepat, aku mengakui itu. Lalu tiba-tiba saja aku mempercayai suatu kebetulan. Sudah berapa lama dia di sini? Aku...