"Ga mungkin juga gua bakal bilang 'iya'."
Soobin berhenti di depanku. Aku mendongak melihat wajahnya.
"Eh, tapi lo masih suka sama gua ga 'sih?" Seketika aku menutup mulutku dan mundur. Demi apa aku langsung mengatakan itu seenteng minta permen?!
"Maap, Bin—
"Mana bisa gua berhenti suka sama lo?" Dia menarik tas selempang yang kubawa. Baru saja aku ingin kabur.
"Lo kira gua bakal menyerah gitu aja kalo ada saingan? Kagak, lah," katanya membuatku menoleh ke belakang.
"Yaudah, kalo gitu gua aja yang nyerah." Aku menarik tasku balik namun Soobin semakin tidak melepaskannya.
"Gua ga mau egois, Bin. Gua ga bisa," lanjutku.
"Hey, posisi kita sama asal lo tau," ujar Soobin berhenti menarik tasku. Alhasil terlepas pun aku yang sekarang melihat ke arahnya.
"Lo mikir perasaannya Yeji 'kan? Gua juga mikir perasaannya Yeonjun."
Di telingaku, itu terdengar seperti kaca yang pecah. Ternyata benar. Walau sudah menduganya, aku tetap terkejut Soobin mengatakan itu dengan jelas.
"Jujur aja, gua masih suka sama lo. Kalaupun temen gua suka sama lo juga, gua tetep suka. Bagian mau nyingkirin satu sama lain, pilihan ada di tangan lo 'kan?"
"Ada di tangan lo juga kalo gi—
"Gua pilih lo."
Aku menelan salivaku susah payah. Tanganku sedikit gemetar. Lantas apa yang harus kulakukan sekarang?
"Maaf, Bin. Ga sekarang," ucapku lalu berbalik lagi meninggalkannya.
"Lia." Dia muncul di depanku lagi. Kini tangannya memegang kedua pundakku.
"Oke, kalo gini caranya.. Gua minta maaf." Entah mengapa aku seakan melihat bintang di matanya. Aku tertegun beberapa saat.
"Apapun yang terjadi nanti, gua bakal adaptasi dengan situasinya. Yeji ga ngemusuhin lo 'kan?"
Seketika bibirku melengkung ke bawah dan aku berjongkok menutupi wajahku. Apapun yang berhubungan dengan Yeji sekarang, semakin menyayat hatiku. Aku menangis.
"Eh, eh, Lia! Maap, ga lagi, deh. Jangan nangis, ya. Maap," ucapnya ikutan berjongkok di depanku. Susah payah dia mengangkat wajahku namun aku enggan.
"Ya, ampun, Lia. Gua minta maap. Ga lagi, deh."
"Dimusuhin engga, cuma waktu gua lihat dia, hati gua sakit. Pernah gua ga disapa dan waktu kami ngobrol aja ga ada rasa, Bin. Maaf juga kalo gua sensitif begini orangnya, tapi itu yang gua rasain," balasku sambil sesegukan. Gila, Soobin. Malu banget aku harus menangis di depan dia.
"Iya, deh, iya. Maaf, ya. Ga lagi, deh. Ayo, berdiri, ayo." Soobin menarik pelan tanganku untuk berdiri. Lekas kuhapus semua bekas air mata ini dan melirik tajam padanya.
"Ga, ga bisa peluk gua. Bisa kena semprot adek lo nanti." Dahiku berkerut. Apa maksud dia?
"Maksud lo?"
Soobin menunjuk arah belakangku dengan dagunya. Ternyata Piyo berdiri agak jauh dari kami sambil meminum teh kotak.
"Udah?" tanyanya tanpa suara dari sana.
Terlanjur emosi, kulepas sandalku—
"Eh, eh, sabar!" cegah Soobin namun aku tetap —melemparnya ke arah bocah itu.
Dasar, perusak suasana!
Karena memang jarak yang jauh, faktor angin, dan tenaga yang kugunakan tidak memadai, sandal itu tidak sampai pada Piyo. Bocah itu tertawa di sana. Saat kulirik Soobin—
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Oke ft.Lia ITZY (END)
Fiksi PenggemarSemua orang mengenalnya, aku saja yang terlambat. Ketika orang-orang mengumpulkan fokus ke arahnya, aku menoleh arah lain. Waktu memang tepat, aku mengakui itu. Lalu tiba-tiba saja aku mempercayai suatu kebetulan. Sudah berapa lama dia di sini? Aku...