I don't gotta know if you're taken,
I'll just let ya know bedroom's vacant,
No one's gotta know,
Just us and the moon,
Until the sun starts waking up.
Originally written by Penguanlin, 2020.
San menghela napas berat. Apa boleh buat, ia tetap harus mengangkat telepon Eunwoo.
"Halo," ucap San malas. Matanya ia gerakkan ke sembarang arah, "Iya, lagi transit di Jepang, pesawatnya mau berangkat, bye."
Pria itu menutup teleponnya begitu saja. Dari posisiku, aku dapat mendengar secara samar, bahwa sepertinya masih ada banyak sekali yang Eunwoo ingin bicarakan pada suaminya.
"Transit di Jepang? Kamu bilang apa ke Eunwoo?" tanyaku.
San mengangkat bahu, "Aku bilang kalau aku ke Amerika."
Aku mendudukkan tubuhku. Kantukku seakan hilang begitu saja, digantikan dengan rasa penasaranku pada Eunwoo dan San.
"Aku tiba-tiba kepikiran, gimana kalau tiba-tiba Eunwoo ke kantor, tapi aku gak ada," gumamku. "Maksudku, kalau diem-diem ternyata Eunwoo sering ngeliat kita berdua gak ada di kantor."
"Buat apa Eunwoo ke kantor? Kan aku gak ada," balas San. "Dan, Eunwoo terlalu baik buat mikir yang enggak-enggak tentang kamu."
"I mean, kita gak pernah tau kalau ternyata Eunwoo curiga," ucapku lagi. "Yah, meskipun dia sebegitu percayanya sama kamu."
Tawa San meledak begitu saja. "Bener juga, Eunwoo terlalu percaya sama aku, sampai dibohongin di depan mata aja ga tau," ucap San.
Aku melemparkan bantal kecil di dekatku kepada San. Aku mengerutkan dahiku, "Ide kamu ya yang nyuruh aku sandiwara segala. Untung aku bisa diajak kompromi."
San menyunggingkan alisnya. Dengan ekspresi wajahnya yang hangat, ia kembali menghampiriku ke atas kasur, duduk di sebelahku.
San menyisir rambutku dengan tangannya dan merangkulku hangat. "Kalau kamu mau bilang ke Eunwoo tentang semuanya, silahkan aja sih. Paling abis itu dia nangis-nangis minta biar ga diceraiin," ucap San.
Oke, ucapan San jahat sekali. Ku akui, pria itu terlalu gamblang dan cenderung menyepelekan masalah rumah tangganya, meskipun aku juga sama jahatnya karena tetap memaksakan hubungan gelap ini.
"San," panggilku.
"Ya?"
"May I ask you something?" tanyaku.
"Ask me everything, bahkan pertanyaan yang gak bisa ku jawab sekalipun," ucap San, matanya menatap tepat ke mataku.
Ah, wajahku terasa memanas karena tatapan pria itu. "Eum, kamu sama Eunwoo, kalau dari awal kalian gak saling jatuh cinta, kenapa kalian bisa bertahan sampai sejauh ini?" tanyaku.
Senyum San agak meluntur mendengar pertanyaanku. Dari pengamatanku selama ini, San memang cenderung malas dan cukup 'gelap' mengenai segala topik mengenai keluarganya, apalagi tentang Eunwoo.
"Yang pasti, it's not about love, karena mau sampai kapanpun, aku gak bakal nemuin cinta dari dia," jawab San. "In contrast, aku nemuin apa itu cinta dari kamu. Tentang aku sama Eunwoo, aku cuma perlu nerusin garis keturunan keluargaku."
Aku membulatkan mataku, mencoba mencerna maksud dari jawaban yang San lontarkan. "Maksud kamu? Kamu cuma mau bikin Eunwoo hamil, gitu?" tanyaku lagi.
Seperti tanpa dosa, San menganggukkan kepalanya. "Dan, aku cuma butuh anak laki-laki. Kalau di masa depan dia melahirkan anak perempuan, maka aku bisa cari wanita lain," jawab San. "Termasuk nyari wanita yang benar-benar aku cintai."
"Gimana bisa kamu berencana ngehamilin istri kamu, padahal kamu sama sekali gak cinta sama dia??"
"Come on, babe, pernikahan antara aku sama Eunwoo bukan tentang cinta, meskipun Eunwoo udah kepalang bawa hati," San berucap dengan entengnya, "Hal yang paling penting daripada apapun, aku harus punya pewaris. Perusahaan keluargaku gak bisa diserahin ke sembarang orang."
Aku memijat pelan dahiku, "Aku gak pernah ngerti isi pikiran orang tinggi kayak kamu."
"You have to, karena cepat atau lambat, nama kamu mungkin masuk di kartu keluargaku," ucap San.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Oh my, kenapa kamu belom pake baju??" ucapku setengah memekik.
Choi San di depanku ㅡlebih tepatnya ia duduk di kasur sambil memegang laptopnyaㅡ dengan posisi yang sama sekali tidak berubah sejak pertama kali aku menginjakkan kaki masuk ke kamar mandi. Ia masih bertahan dengan jubah mandi berwarna abu-abu miliknya.
"Why should I? I can easily put it off using this robe," sahut San.
Aku menghela napas. "Come on, San, I'm getting tired with 'you may catch a cold', that kind of saying!"
San menutup laptopnya, menyimpannya kembali ke atas nakas, dan menatapku. "Kamu juga masih pakai jubah mandi. Come, taste me," ucapnya.
Sembari berjalan mendekati San, aku terkekeh. "Really? In the first night of Maldives?"
"Sst, semua malam itu sama,"
Di bawah hamparan bintang-bintang, di atas lautan berpasir putih dengan ombak yang mendayu-dayu, kami kembali melanjutkan perjalanan kami. Berbagi kisah, keluh, dan kesah di balik kehangatan malam, menghapus jarak, meruntuhkan segala tebing tinggi yang sedianya membatasi kami.
Cuitan burung pada malam hari seakan tak henti-hentinya mengingatkan kami tentang batas yang kami langgar. Tapi, kami seakan tuli. Bagai sebuah karang yang tak lekang oleh ombak, kami tidak akan pernah berhenti menjalin kasih.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.