"Ediiiiith!"
Ah, ia lagi, ia lagi. Ibu direktur, tidak bisakah Anda membiarkan aku hidup dengan sedikit tenang, satu minggu saja.
Diam-diam, aku menghela napas. Amarahku tentang wanita ini baru saja padam beberapa hari yang lalu, mudah sekali ia datang dengan senyum lebar dan membuatku terasa berapi-api kembali.
"Hai," jawabku sambil sok tersenyum.
Ayolah, mana mungkin aku tidak bertingkah sok manis di depan Eunwoo? Yah, meskipun aku lebih ingin melemparkan tumpukan kertas ke arah wajahnya daripada harus duduk di depan matanya selama satu jam dan mendengarkan betapa indah hari-harinya dengan suaminya yang tidak pernah mencintainya itu.
"Ayo ke kantin!" ajak Eunwoo antusias.
Benar saja. Semangat, Edith, mari laksanakan sandiwara ini sekali lagi.
"O-oke? Gak mau ketemu Pak San dulu?" tanyaku.
Eunwoo menggeleng, "Nanti aja deh, gampang, tapi kamu yang ijin ke San, ya?"
Astaga, rasanya aku ingin tertawa kencang. Di hari-hari biasa saja San bersikap sangat dingin pada Eunwoo, apalagi setelah wanita itu memiliki sesuatu di perutnya. San bahkan hampir tidak pernah pulang ke rumah mereka karena San selalu pulang ke rumahku.
"Ah, oke deh, aku ijin dulu ya," ucapku.
Lagi, aku menghela napas. Sampai kapan aku harus berpura-pura di depan Eunwoo? Bukan berarti aku ingin mengatakan di depan hidungnya jika aku telah menikung suaminya, tetapi aku hanya lelah selalu menjadi figuran di kehidupan rumah tangga mereka yang tidak pernah harmonis ini.
San tidak bergeming saat aku masuk ke ruangannya. Ia menatap lurus layar komputernya dengan sangat serius, sampai-sampai terlihat sinklinorium di dahinya.
"San," panggilku.
"Iya, sayang?" San akhirnya berpaling dari layar komputer dan menatapku.
"Tuh, Ibu dateng," balasku malas. "Bener-bener ya istri kamu, kayaknya aku harus nahan diri buat ga banting meja pas dia cerita macem-macem."
San terkekeh, "Bilang aja kamu sibuk, atau bilang aja aku ga ngijinin kamu keluar. Pasti Eunwoo nyuruh kamu ijin ke aku, kan?"
Aku mengangguk, "Iya, tapi aku gak tega lah nolak Eunwoo begitu, wajahnya bahagia banget," aku mencibir, "Pasti mau pamer anak."
"Kamu tuh ya, minta dicium banget," San menyeletuk, "Terserah kamu aja lah, kalau kamu mau nemenin Eunwoo, maka anggap aja aku ngijinin kamu keluar, kalau enggak, maka sebaliknya. Oh ya, aku males ketemu Eunwoo, bilangin aku sibuk, gak bisa diganggu."
Aku pun melangkah keluar dari ruangan San. Eunwoo tidak ada di mejaku, ke mana ia pergi?
"Ibu mana?" tanyaku pada karyawan yang duduk paling dekat dengan mejaku.
"Tadi ke toilet, mbak disuruh nunggu sebentar," jawabnya.
Ah, baiklah Ibu direktur, bahkan menunggu lama pun aku tidak peduli.
Eunwoo muncul sekitar lima belas menit kemudian. Sebenarnya apa saja yang wanita itu lakukan di toilet sampai menghabiskan waktu selama itu? Entahlah, aku pun tidak peduli.
"Maaf ya aku lama," ucap Eunwoo, "San ngasih ijin?"
Aku mengangguk, "Iya."
"Okey, ayo,"
Sungguh, aku ingin sekali melakban wajahku saat aku berjalan di belakang Eunwoo, seperti mengekor wanita itu. Apalagi saat kami melewati meja Yeosang, pria itu membuat ekspresi wajah yang sangat konyol, seperti ia akan menertawakan situasi aneh ini selama tujuh hari tujuh malam penuh.
Kami segera meluncur ke meja favorit kami. Eunwoo tidak memesan apapun, ia barangkali memiliki pantangan karena kehamilannya.
"Gimana?" tanyaku, selalu aku yang membuka percakapan. Terkesan seperti aku adalah orang yang sangat peduli, padahal kan...
"Kamu udah denger kan, tentang, yah, something new between me and San?" tanya Eunwoo.
Aku mengangguk. Tentu saja, aku tahu apa yang baru di antara kalian berdua, nyonya, aku bahkan bertengkar sampai berhari-hari dengan suamimu karenanya.
"San maksa aku untuk gak ngumumin kehamilan ini, katanya masih terlalu awal," lanjut Eunwoo. "Di sisi lain, aku sedikit sedih karena San sendiri jarang pulang. Pasti lagi ada proyek besar, ya?"
Errr, aku menganggukkan kepalaku. Proyek besar apa lagi? Apakah pernikahanku dan San kelak termasuk proyek besar?
"Emang lagi hectic banget kantor akhir-akhir ini, banyak yang lembur juga sampai ga pulang," balasku mengarang.
Eunwoo menghela napas, "Berat banget sumpah, di awal-awal kehamilan ini aku butuh banget dukungan dari San, tapi dia sibuk banget, selalu sibuk."
Aku mengangkat bahu, "Sebenernya itu keputusan Pak San, either he wants to stay or to leave sedangkan yang lain lembur. Apa perlu aku bilang ke Pak San?"
"Enggak, jangan dulu," Eunwoo menggeleng tegas dan menghela napasnya, "Biarin lah San fokus kerja dulu, toh dia kerja juga buat aku, buat anak aku."
Sabar, Edith, sabar, jangan banting meja di depanmu. Astaga, aku ingin sekali melemparkan sumpah serapahku pada wanita di depanku ini.
Mari kita lihat, Eunwoo, apakah kebahagiaanmu akan bertahan selama itu, lebih lama dari kebahagiaan yang ku ciptakan bersama suamimu tersayang.
Drrrt!
Ponselku tiba-tiba bergetar. Aku meraih ponselku dari saku dan menemukan sebuah pesan singkat dari San, 'Abis ini siapin paspor ya.'
note.
agar tidak emosy, aku mau kasih foto pak direkturSan: "Suruh pulang aja, aku gak mood ketemu Eunwoo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos ➖ATEEZ San [✔]
FanfictionI don't gotta know if you're taken, I'll just let ya know bedroom's vacant, No one's gotta know, Just us and the moon, Until the sun starts waking up. Originally written by Penguanlin, 2020.