I don't gotta know if you're taken,
I'll just let ya know bedroom's vacant,
No one's gotta know,
Just us and the moon,
Until the sun starts waking up.
Originally written by Penguanlin, 2020.
Lagi, pertanyaan mendadak dari Eunwoo yang membuat pembuluh darahku berpacu cepat. Eunwoo ini cenayang, atau bagaimana?
"Itu," Eunwoo menunjuk jari manisku dengan tatapan matanya.
Astaga, aku ingin mengumpati diriku sendiri saja rasanya. Bisa-bisanya aku kelepasan memakai cincin berlian yang San berikan di Maladewa tempo hari ke kantor??
"Aah, ini?" Aku segera melepas cincin itu dan memindahnya ke jari telunjuk, "Kamu tau kan, aku ke kantor naik angkutan umum, jadi kadang aku pake di jari manis, sekadar pura-pura biar ga ada yang gangguin."
Aku hampir berkeringat dingin. Hanya beberapa menit setelah Eunwoo duduk di hadapanku, tetapi rasanya seperti aku sedang diinterogasi.
Eunwoo tiba-tiba tersenyum penuh arti, "Serius? Bukan karena udah dilamar?"
"Dilamar?" Aku pura-pura terkekeh, "Haha, sama siapa?"
Eunwoo mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuknya, "Temen kamu yang tadi? Siapa namanya?"
"Yeosang? Ahaha, enggak, kita cuma temen biasa," balasku.
Aku tersenyum canggung. Ayolah, obrolan ini segera berakhir, aku ingin melarikan diri dari ibu direktur yang kian kritis hari demi hari.
"Tapi keliatannya kalian cocok, tau!" seru Eunwoo bersemangat, "Atau mungkin mau aku kenalin sama Yunho? Itu loh, sekretarisnya keuangan!"
Aku menggelengkan kepala, "Enggak deh, aku mau fokus kerja dulu."
Gila saja jika Eunwoo nekat menjodoh-jodohkan aku dengan entah siapapun itu, bisa-bisa San marah besar. Yah, meskipun San tidak akan pernah marah denganku sih.
Mata Eunwoo berbinar, "Keren banget! Tadinya aku gugup banget karena ternyata ada banyak banget wartawan yang dateng, tapi karena ada San, jadi gak terlalu gugup lah."
"Ah ya? Bagus dong," sahutku setengah berminat, atau barangkali tidak berminat sama sekali.
"Seneng deh, akhirnya aku punya kegiatan. Biasanya kehidupanku cuma berputar di sekitaran rumah, mall, salon, atau ke sini, main sama kamu," lanjut Eunwoo, "Yah, meskipun San bilang, kedepannya cuma aku sendiri yang ngurus."
Aku mengerutkan dahi, "Sendirian?"
Eunwoo mengangguk, "Iya, karena San kan fokus di sini, aku gak bisa maksa dia buat fokus di banyak hal," wanita itu tersenyum getir, "Letak kantornya lumayan jauh dari sini, kita bakal jarang ketemu lagi."
Aku menepuk-nepuk bahu Eunwoo, memasang wajah sedih yang ku buat-buat. Bagus sekali jika kami jarang bertemu, maka aku memiliki waktu yang lebih banyak dengan San tanpa interupsi wanita itu.
"Pokoknya, aku selalu ada di kantor kalau kamu mau ketemu," ucapku sok menghibur.
"Tapi, aku kayak masih berat buat ngejalaninnya," Eunwoo menghela napas, "Kayak udah rutinitas banget kan, aku dateng, bawa makan siang buat San, terus kita ngobrol-ngobrol," ia menggigit bibirnya, "Waktuku buat ketemu sama San juga berkurang, pasti."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Satu jam penuh ku habiskan untuk mendengarkan keluh kesah ibu direktur yang enggan dipisahkan dengan suaminya. Dengan langkah malas, aku masuk ke ruangan San dengan berkas-berkas tak berguna di tanganku, tentu saja.
"Eunwoo udah pulang?" tanya San.
"Udah," jawabku singkat. Ayolah, pikiranku bagai diaduk-aduk menggunakan sendok sup. Semua mengenai Eunwoo mendadak memusingkan hari ini.
"Sayang? Are you ok?" tanya San lagi.
Aku mengangguk kecil. Aku meletakkan map warna-warni ke atas meja dan menjatuhkan diriku ke atas sofa milik San. Aku memijat halus dahiku. Arggh, bisakah hari ini berlalu dengan cepat?
"Kenapa? Eunwoo ribet?" tanya San. Ia duduk di sebelahku dan menarik tubuhku agar bersandar padanya.
Aku menunjukkan jari telunjukku yang di sana melingkar cincin yang ia berikan padaku, "Aku hampir kena masalah."
San melepas cincin itu dan mengembalikannya ke jari manisku. "Eunwoo tanya tentang ini?" tanya San, "Apa aku harus kasih tau ke dia?"
"Gak, gak," aku menggelengkan kepala, "Jangan gila, mau jadi apa aku kalau Eunwoo tau?"
"Ya jadi istriku lah," sahut San dengan enteng, kemudian mengecup singkat pipiku, "Kamu gak marah tentang hari ini, kan? Semuanya cuma buat media, sayang. Kamu tau kan, aku sayangnya sama kamu?"
"Iya," aku memutar tubuhku dan memeluk San dari samping, mengistirahatkan tubuhku pada dada bidangnya, "Belakangan ini, istri kamu mendadak ribet banget, entah gimana tau-tau tanya tentang, yah, orang ketiga."
San terkekeh, "Mungkin itu feeling istri pertama. Bagus dong kalau kalian udah satu feeling?"
"Bagus apanya? Yang ada aku keringet dingin setiap ngobrol sama Eunwoo," gerutuku, "Tuh istri kamu kecewa gara-gara disuruh ngurus perusahaan."
"Haha, berhasil kan, skenario mulus buat nyingkirin Eunwoo pelan-pelan," ucap San, "Sebenernya aku lagi mikir gimana caranya ceraiin Eunwoo."
Aku mengangkat kepalaku, menatap wajah San. Pria itu tetap tersenyum sambil memainkan rambutku. "Kenapa? Kamu kan yang gak mau jadi yang kedua?" tanya San.
"Hubungan kita ribet, tau. Gak lucu lah kalau kamu tiba-tiba cerai. Kamu baca gak sih artikel yang beredar di internet?" aku balik bertanya.
San menggelengkan kepala, "Enggak lah, buat apa sih aku baca-baca portal berita di internet, suka ngaco. Ah ya, atur jadwal, aku mau ketemu orangtua kamu."
Aku membulatkan mataku. "Serius?? Eunwoo gimana?"
"Kita bisa pura-pura pergi dinas. Ya kayak biasanya??"
Aku menggigit bibir bawahku, "Kasih aku waktu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.