Bersama-sama dengan San, pagi ini aku berangkat ke kantor menggunakan mobilnya. Kami datang agak terlambat pagi ini. San meminta sedikit waktuku untuk, yah, kau tahu apa.
"Parkir di tempat biasa, pak?" tanya seorang satpam yang biasa diminta untuk memarkirkan mobil San.
"Cari yang agak deket lift aja, nanti siang saya keluar," jawab San.
Di kantor, aku dan San kembali ke mode serius, yang mana aku akan berjalan beberapa langkah di belakang pria itu dan berjalan tegap layaknya seorang profesional. Kami tetap mampir ke lobi, kalau-kalau ada orang meninggalkan pesan untuk kami.
"Pak San, ditunggu sama Bu Eunwoo," ucap resepsionis.
Kami saling berbagi kontak mata satu sama lain. Untuk apa Eunwoo datang sepagi ini?
"Oh ya? Ibu dateng jam berapa?" tanya San. Astaga, tolong, perutku ingin muntah mendengar sandiwara ini.
"Baru saja, katanya Ibu nunggu di ruangan Bapak," jawab resepsionis.
"Ada yang minta atur jadwal?" Aku ganti bertanya.
Resepsionis menggeleng, "Belum, mbak, nanti kalau ada, saya akan kabari."
Aku dan San kembali berlalu menuju lift. Seperti biasanya, tidak ada orang di jam-jam sibuk seperti ini. Pria itu segera menutup pintu lift dan menekan tombol menuju lantai sembilan, lantai tempat kami bekerja, dengan penuh amarah.
"Eunwoo ngapain sih pagi-pagi dateng, bikin gak mood aja," gerutu San.
"Ya gak tau lah, kan istri kamu," aku menekan tombol lantai lima, "Aku mau ke pantry, kalau istri kamu nyari aku, bilang aja Edith ilang."
"Edith--"
Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka di lantai lima. Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari lift, meninggalkan San yang tampak masih memiliki ratusan kata-kata untuk diutarakan.
Entah mengapa, aku lebih suka pantry di lantai lima daripada pantry di lantaiku. Mungkin karena Yeosang sering mengunjungi pantry ini, membuatku secara alami ikut menyukai pantry ini, karena kau tahu, aku pergi ke mana-mana selalu bersama Yeosang.
Tampak seseorang telah bersarang di pantry, terlihat dari kaca buram di pintu. Ah, ternyata Yeosang, pria itu menengokkan kepalanya saat aku membuka pintu.
"Hey," sapaku.
"Sini," Yeosang menepuk bangku kosong di sebelahnya, "Mau kopi? Belom aku minum."
Aku menggeleng, "Gak, aku bikin sendiri aja."
Aku meletakkan tasku di kursi sebelah Yeosang dan segera berperang dengan bungkus kopi, dengan posisiku membelakangi Yeosang. Dari sudut mataku, pria itu tampak menyesap kopinya sambil matanya terus menatap ke arahku.
"Ngapain pagi-pagi udah di sini?" tanyaku pada Yeosang. Aku membawa gelas kopiku dan duduk di sebelahnya.
"Kamu sendiri, ngapain pagi-pagi udah di sini? Minum kopi pula," sahut Yeosang, alih-alih menjawab pertanyaanku.
Aku mengangkat bahu, "Males ah, ada Ibu dateng, nanti dia curhat macem-macem lagi, pusing tau."
"Sama sih," Yeosang meletakkan gelas kopinya, "Aku juga males ngeliatin kamu, Bu Eunwoo, sama Pak San. Bosen."
Aku terbahak, "Kurang ajar."
"Mau gimana lagi, kalian banyak drama," sahut Yeosang. "Kamu gimana sih sama Pak San? Udah sampe mana? Udah ada niat buat berhenti belum?"
Aku menunjukkan tangan kananku, dengan jari telunjuk yang telah melingkar cincin yang San berikan. Di depan mata Yeosang, aku memindahkan cincin itu ke jari manisku.
Yeosang mengerutkan dahinya, "Udah sampe situ? Emang orangtua kamu udah tau? Rela gitu anaknya jadi perusak rumah tangga orang?"
Aku mengibaskan tanganku, "Apa sih, belom sampe situ, San belom ketemu orangtuaku," aku kembali memindahkan cincin itu ke jari telunjuk, "Kemaren, Eunwoo liat aku pake cincin ini, ya udah lah aku udah gak bisa ngelak lagi, untung dia percaya kalau aku pake cincin ini cuma buat hiasan."
"Emang, kamu bakal bilang apa ke orangtua kamu kalau di kemudian hari Pak San ngelamar kamu secara resmi?" tanya Yeosang.
"Barangkali gak ngomong apa-apa," aku membalas, "Atau bahkan kita nikah tanpa restu orangtuaku. Toh mereka juga gak bakal peduli."
Aku reflek menutup mulutku rapat-rapat ketika langkah kaki terdengar mendekat. Sepertinya lebih dari satu dua orang, yang pasti mereka mengobrol satu sama lain.
"Denger-denger istrinya direktur HR--"
Aku dan Yeosang kompak menengok ke pintu ketika orang itu datang dan membuka pintu pantry. Ternyata hanya ada dua orang, keduanya karyawan baru yang bahkan aku sendiri masih ingat perangainya ketika mengurus mereka yang baru saja melamar pekerjaan di sini. Tentu, mereka kompak mengatupkan mulut ketika melihat dua staff kepercayaan direktur personalia tepat di depan mata mereka.
"Errr, misi mbak,"
Mereka berlalu begitu saja meninggalkan pantry. Sesaat setelah pintu pantry tertutup sempurna, aku terbahak keras.
"Ah, cemen banget langsung diem. Tunggu aja, sebentar lagi mereka nangis-nangis di lantai kita, minta maaf," ucapku di sela-sela tertawa.
Haha, kalau-kalau mereka lupa, siapa yang punya hak untuk memberhentikan mereka. Aku dan Yeosang punya andil, tentu saja.
Aku kembali menenggak kopiku dan menatap Yeosang, "Kayaknya ada gosip baru. Ada apa?"
Yeosang mengangkat bahu," Sejak kapan aku dengerin gosip? Karyawan mana juga yang berani gosip kalau ada aku?"
"Hmm, bener juga," sahutku. "Kayaknya ada hubungannya sama Eunwoo. Ah, males banget aku naik."
"Katanya gak mau dengerin Ibu curhat, ya udah, di sini aja," ucap Yeosang. "Gak ada ruginya juga kan."
"Bilang aja kamu males kerja," omelku, "Beruntung ya kamu temenan sama aku, ngantor gak ngantor, San gak bakal marah."
note.
halooo, apa kabar hari inii?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos ➖ATEEZ San [✔]
Fiksi PenggemarI don't gotta know if you're taken, I'll just let ya know bedroom's vacant, No one's gotta know, Just us and the moon, Until the sun starts waking up. Originally written by Penguanlin, 2020.