1: hari-hari normal di kantor

8.5K 901 218
                                    

Aku melangkah keluar dari ruangan San dan segera berbelok menuju mejaku yang terletak tepat di sebelah pintu besar dengan ukiran tulisan 'Direktur Personalia' di sisi atasnya. Teman-temankuㅡaku tidak tahu apakah aku bisa menyebut mereka sebagai 'teman' karena mereka lebih cocok disebut sebagai 'rekan kantor tukang gosip', terlebih ketika mereka melihatku keluar-masuk ruangan San.

Oke, sebelum kita membahas tentangku dan San dengan semakin dalam, kalian perlu mengenalku terlebih dahulu. Namaku Edith, hanya Edith. Aku bekerja di sini, di kantor San, sebagai sekretaris pribadinya. Tidak mengherankan 'kan jika aku bolak-balik ke ruangan San? Aku sekretarisnya! Yah, meskipun San suka sekali menambah pekerjaanku ketika aku berada di dalam sana.

Kalian pasti menduga jika ada sesuatu yang salah di antara aku dan San. Ya, tentu saja ada. Tapi, tetap saja, aku berhasil meraih pekerjaan di perusahaan bergengsi ini karena otakku. Aku bahkan belum mengenal San pada kala itu. Bagaimana aku bisa ada di posisi setinggi ini, haha, San bisa melakukan apa saja yang ingin ia lakukan. Ah, rasanya aku merasa bersalah sekali karena sekretaris San yang asli ia pindah tugaskan ke daerah lain, hanya demi menjadikanku sebagai sekretarisnya.

Dan, tidak pernah sedikitpun aku merasa seperti kewalahan setelah bertemu dengan San. Tentu saja, aku bersyukur bisa bertemu dengan orang itu. Kesampingkan hal-hal mengasyikkan di luar pekerjaan, tanpa San aku tidak bisa ada di posisi tinggi dengan gaji yang besar ini. Ditambah lagi, San seringkali melebihkan 'gaji' untukku. Menyenangkan, bukan?

Pintu ruangan San terbuka. Pria itu keluar dari ruangannya dengan menanggalkan jasnya. Tubuh atletisnya yang hanya terbalut kemeja berwarna krim benar-benar membuat kepalaku pusing seketika.

"Hari ini ada meeting?" tanya San padaku, hanya sebagai formalitas di depan teman-teman karena toh, tanpa aku membuka mulut pun, San tahu jawabannya.

Aku menganggukkan kepalaku, "Ada, jam dua siang."

San menarik kursi di depan mejaku dan duduk di sana. Mata dan tangannya sibuk berpura-pura mengecek berkas, tetapi mulutnya berbicara hal yang lain.

"Paspor kamu masih jalan, kan?" tanya San, sebisa mungkin memelankan suaranya.

Aku berbisik, "Kenapa gak nanti aja?"

"Aku mau ngurus visa sekarang, lusa kita terbang," jawab San.

Aku membulatkan mataku. Dengan gerakan cepat, aku segera mengecek komputerku.

"Lusa ada meeting, sama pimpinan cabang lain," ucapku. "Jangan lusa."

San mengibaskan tangannya, "Ah, buat apa sih. Cari tau agendanya, jadwal ulang meeting-nya kapan-kapan. Kalo perlu, gak perlu repot-repot meeting, gak berguna."

Pria itu menutup map berkas dan kembali mengembalikannya padaku dengan senyuman. "Paspor," ucap San singkat.

Aku menyerahkan pasporku. Setelah diam-diam menarik pasporku dan menyimpannya di dalam saku terdalam miliknya, San bangkit dari duduknya, berjalan melenggang keluar dengan langkah yang berkarisma. Teman-temanku segera memasang muka sok serius ketika San berjalan melewati mereka. Haha, mereka semua bermuka dua.

Satu, dua, tiga. Tepat setelah pintu lift yang dimasuki San tertutup, secara serentak, mereka mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahku. Aku hanya mengangkat bahuku dan kembali duduk. Yah, aku pun punya pekerjaan.

"Edith,"

Yeosang muncul di hadapanku dengan map coklat di tangannya.

"Kamu mau pergi lagi?" tanya Yeosang pelan.

"Kayaknya," jawabku. "Dia lagi ngurus."

Yeosang menduduki kursi di hadapanku. "Yakin bakal pergi? Bukannya ada meeting?"

"Dia gak peduli. Gak berguna, katanya," jawabku.

Kang Yeosang, satu-satunya temanku di kantor ini. Satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran antara aku dan San, satu-satunya orang yang tidak menyindirku, satu-satunya orang yang tidak pernah menyampuri urusanku. Aku tidak benar-benar memiliki teman di sini, kecuali pada sesama, uhm kau tahu, simpanan.

"Mereka ngomongin kamu," Yeosang melirikkan matanya pada teman-teman kami, "Mereka bisa kudeta kapan aja."

Aku terbahak-bahak mendengar ucapan Yeosang. Kudeta, katanya?

"Mau kudeta siapa? San? Alah, kayak berani aja," ucapku. Orang gila mana yang berani mengkudeta direktur mereka??

"Kamu," Yeosang menunjuk tepat ke arah wajahku menggunakan jari telunjuknya, "Kenapa kamu masih berani lanjut?"

"Posisiku aman," ucapku.

"Sejauh ini," ucap Yeosang, ia bangkit dari kursi, "Istrinya mau dateng hari ini."

"Oh ya?" aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, jam dengan merek yang cukup prestisius, pemberian dari San, "Kalau begitu, dia ga boleh kelamaan ada di luar."

Aku melempari Yeosang dengan senyuman. Aku tahu, pria itu pasti sudah sangat bosan menasihatiku untuk berhenti.

Ting!

Pintu lift kembali terbuka dan San lagi-lagi muncul dari sana. Ia melangkahkan kakinya dengan gagah ke ruangannyaㅡmeskipun ia tetap saja mampir ke mejaku.

"Yeosang," sapa San.

San meletakkan sebuah minuman favoritku di atas meja dan mengerling padaku. Aku tahu apa maksudnya, ia memintaku untuk hadir di ruangannya, lagi dan lagi.

"Edith, berkasnya sudah direvisi, bisa kamu cek lagi," ucap Yeosang. "Permisi."

Yeosang berbalik dan kembali ke mejanya, menyisakan aku dan San. Diam-diam, San mengeluarkan pasporku dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja.

"Ayo," ucap San.

note, ㅋㅋㅋ terima kasih kacang telor g4rud4 telah memberiku inspirasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

note, ㅋㅋㅋ
terima kasih kacang telor g4rud4 telah memberiku inspirasi

yang minta san versi nyebelin, nih aku kasih mwaaa

memberi kode-kode swit keos sejak rewrite:

memberi kode-kode swit keos sejak rewrite:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

yaudala ya

Sweet Chaos ➖ATEEZ San [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang