Aku menghabiskan waktuku di pantry bersama Yeosang tanpa berminat sama sekali untuk naik ke lantai sembilan. Aku tidak ingin ambil risiko untuk segera kembali ke mejaku kalau-kalau ternyata Eunwoo masih ada di sana.
Ponsel Yeosang tiba-tiba berbunyi, tampak nama salah seorang karyawan lantai kami meneleponnya. Aku agak menggeser tubuhku, memberikan pria itu privasi untuk mengangkat teleponnya.
"Aku angkat ya," ucap Yeosang, jari kanannya mengusap tombol berwarna hijau.
Wajah pria itu tiba-tiba berubah serius. Sesekali, ia menatapku.
"Oh oke," ucap Yeosang lagi, kemudian ia menyimpan ponselnya. Ia menatapku, "Kamu dicariin sama Pak San."
"Aku? Ah, oke," ucapku.
Aku meraih ponselku yang ternyata berada di sisi terdalam tasku. Ada puluhan panggilan tak terjawab serta ratusan pesan dari berbagai aplikasi chatting, semuanya berasal dari San.
"Dicariin pak bos," ucapku. "Aku pergi dulu, titip bawain tas ku sekalian ya."
Yeosang mengangguk, "Oke."
Aku melangkahkan kakiku keluar dari pantry dan sedikit berlari menuju lift. Pasti ada keributan kecil antara San dan istrinya, sampai-sampai ia membombardir ponselku dengan ratusan pesan.
"Mbak Edith, dicariin Pak San," ucap salah seorang karyawan yang mejanya paling dekat dengan lift.
"Iya, Ibu udah pulang?" tanyaku.
"Barusan sih, mbak. Pak San juga baru masuk ke ruangan lagi," jawabnya.
Aku mengangguk singkat dan mempercepat langkahku menuju ruangan San. Ada apa lagi sih, bayi besarku pasti sedang merajuk.
Aku membuka pintu ruangan San perlahan dan cukup terkejut melihat apa yang telah terjadi di dalam. Ruangan yang sedianya selalu rapi itu tiba-tiba berantakan, berbagai macam kertas dan map berserakan di lantai, bantal sofa di mana-mana, juga serakan bingkai foto yang pecah.
"San?"
Aku menatap punggung pria itu. San, ia berdiri di depan jendela, menatap luas ibukota sejauh yang bisa dijangkau oleh netranya.
"Hey?" ucapku lagi.
Tidak kunjung ada jawaban. Aku mengangkat bahu, memilih untuk berlalu membereskan ruangannya daripada harus ikut berdiri mematung sambil menunggu ia menjawab.
"Edith," panggil San tiba-tiba, tanpa memutar tubuhnya, atau sekadar memalingkan kepala.
"Ya?" jawabku.
"Eunwoo..." nada suara berubah dingin, "Eunwoo hamil."
Tanganku melemas, kertas-kertas yang ku pegang kembali jatuh begitu saja. Aku menatap San dengan mata yang hampir basah.
"Apa?!" aku berjalan cepat ke arahnya dengan geram, "Apa?! San, kamu... Ah."
Aku memutar arahku. Seperti bingkai foto yang telah hancur berkeping-keping, hatiku pun begitu.
San menggapai tanganku, tepat sebelum aku melangkah. Air mataku jatuh.
"Edith, tunggu!"
"Apa lagi?!" aku berseru, "Cukup, kita jaga jarak dulu, I need to refresh my mind."
"Aku tau kamu kecewa! Aku juga gak mau anak itu ada!!" balas San tak kalah kencang.
"Kamu gak mau anak itu ada, tapi kamu tetep ngelakuin... Ya udah lah, itu juga hak kamu kan. Permisi, San, aku mau keluar,"
"Aku bakal berusaha buat gugurin anak itu!"
Kali ini, aku menengokkan kepalaku dengan cepat ke arah San. Apa katanya tadi? Mudah sekali ia berbicara.
"Kamu kira gugurin kandungan itu urusan mudah? Kamu lupa, kamu bilang kamu butuh anak dari Eunwoo, kan?! Oke, aku cuma kaget, biarin aku pergi sebentar,"
"Enggak, Edith, enggak!! Aku cinta kamu, aku mau penerus dari kamu, bukan Eunwoo," ucap San memohon. "Kita masih bisa bertahan, ya?"
Aku menyeka air mataku dan menetralkan emosiku. Aku menatapnya, "Tolong, aku butuh waktu buat sendiri, buat mikirin ke depannya."
Bagai tuli, San menarikku ke pelukannya. Tangisanku semakin deras, hatiku sakit sekali mendengar penuturan pria itu tentang Eunwoo. Ya, Eunwoo berhak memiliki anak dari San, bagaimanapun juga, ia istri sahnya.
"Aku cinta kamu, Edith, aku cuma cinta kamu. Tolong, masalah ini bukan jadi penghalang buat kita lanjut, kan?"
"Hatiku sakit, San, perasaanku hancur. Mungkin kamu bisa nganggep kalau kehamilan Eunwoo itu masalah sepele, tapi aku?!"
Aku memukul-mukul lemah dada San dan kembali menangis. Aku mencintai San, sungguh, dari hatiku yang paling dalam. Aku tidak rela jika aku harus meninggalkan San secepat ini, tidak! Aku tidak akan melepaskan San, apapun yang terjadi.
"Gak ada yang bisa ngejamin kamu untuk bertahan, San. Gak ada yang bisa ngejamin kamu gak akan kembali ke istri kamu," ucapku lirih. "Ta-tapi... Aku... Aku sayang kamu...."
San membelai rambutku dan sesekali mengecup puncak kepalaku. Ia memelukku erat sekali, membuat hatiku seakan tersayat semakin dalam.
"Kamu percaya sama aku, kan? Aku gak akan pergi, aku janji," ucap San. "Jangan tinggalin aku, Edith, aku cinta kamu."
Porselen yang sudah pecah, bisa disatukan lagi, kan? Selalu ada kemungkinan, kan?
San harus bertahan, tidak peduli jika aku egois tentang perasaanku. San harus bertahan, meskipun dua lautan saling berusaha menghempas ombaknya, menghempas kami untuk pergi.
note.bapak direktur emosi, telponnya ga diangkat-angkat sama Edith
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos ➖ATEEZ San [✔]
Fiksi PenggemarI don't gotta know if you're taken, I'll just let ya know bedroom's vacant, No one's gotta know, Just us and the moon, Until the sun starts waking up. Originally written by Penguanlin, 2020.