"Kabarin aku kalau udah sampe rumah, ya?"
Saat ini, aku berada di depan lobi kantor, mengantar ibu direktur sampai ia masuk ke dalam taksi. Aku tidak mengerti mengapa Eunwoo tidak menyetir mobilnya sendiri, alih-alih menggunakan taksi sebagai moda transportasi.
Dari dalam taksi, Eunwoo mengutaskan sebuah senyuman. Ia melambaikan tangannya. "Makasih ya, udah temenin aku makan," ucap Eunwoo.
Aku mengangguk, "Anytime."
Kaca jendela taksi mulai naik perlahan-lahan. Hingga ban mobil itu mulai berputar, berjalan, dan berbelok kembali ke jalan raya, aku masih berdiri sendirian di sana.
Aku menghela napasku. Aku jahat sekali, ya?
"Edith,"
Aku menolehkan kepalaku. Dari lobi, Yeosang berjalan mendekatiku dengan kedua tangannya yang ia simpan ke dalam saku. Yeosang tetap sama, ia menatap lurus ke arahku dan raut wajahnya selalu datar tanpa ekspresi.
"Nganter ibu direktur?" tanya Yeosang.
Aku hanya mengangguk kecil. Toh, tanpa perlu ku jawab pun, Yeosang tahu jika sudah menjadi kebiasaanku untuk menemani Eunwoo, kapanpun wanita itu datang.
"Apa yang kamu rasain?" tanya Yeosang lagi.
"Gak ada. Sama sekali," jawabku. "Apa aku harusnya bersimpati?"
Yeosang menggeleng, "Buat apa? Toh kamu udah biasa bermuka dua."
Aku tersenyum miring mendengar ucapan menyakitkan yang keluar dari mulut Yeosang. Benar, pria itu benar, aku bermuka dua.
Aku terkekeh, "Lucu ya, gimana aku bisa jadi teman buat Eunwoo, di sisi sebaliknya, aku nusuk dia dari belakang. Ya, aku bermuka dua. I can't say that I'm proud with it but for now, it's fun."
"Dia selalu nerima penolakan yang sama, aku heran kalau dia gak curiga," ucap Yeosang.
"Edith,"
Suara berat lain terdengat di telingaku. Aku dan Yeosang kompak menolehkan kepala ke belakang; ada San di sana.
San berdiri di depan lobi dengan tatapan datarnya menatap ke arah kami. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, San berbalik dan berjalan menjauh, sebuah komando non verbal yang intinya adalah aku harus mengikuti langkahnya.
Aku menatap Yeosang, "Aku harus pergi."
Yeosang mengangguk. Aku pun berjalan cepat mengikuti San. Pria itu berdiri di dalam lift dengan pintu yang terbuka. Aku sedikit berlari, hingga aku sampai di dalam lift, aku segera menekan tombol untuk menutup pintu dan bergerak ke lantai kami.
"Ngomongin apa sama Yeosang?" tanya San.
Aku menggeleng, "Kayak biasanya."
Ting!
Aku melangkahkan kakiku keluar dari lift. Lantai kami cukup kosong karena bertepatan dengan waktu makan siang. Yah, Eunwoo mungkin sedang lelah, ia tidak berbicara banyak hari ini, sehingga aku memiliki banyak waktu sisa selagi teman-temanku menikmati jam istirahat.
San melirikkan matanya ke penjuru ruangan, tiba-tiba ia menarik tanganku dan mempercepat langkahnya menuju ruangannya. Pria itu menutup pintu ruangannya rapat-rapat, meskipun sebenarnya ruangannya pun kedap suara.
Mataku terfokus pada tote bag yang Eunwoo bawa hari ini. Bungkusan yang cenderung berbentuk kotak itu masih terbungkus rapat di atas meja San. Bentuknya tidak berubah sama sekali.
"Kamu gak makan?" tanyaku, mataku melirik pada tote bag, "Eunwoo bilang, dia masakin makanan kesukaan kamu."
San menyunggingkan alisnya, "Oh ya? Tapi makanan kesukaanku itu kamu."
Aku memutar bola mataku malas. "Ayolah, kamu belom makan siang dan istri kamu udah repot-repot masak, seenggaknya kamu liat dulu lah isinya apa," ucapku.
"Sejak kapan kamu peduli sama Eunwoo?" tanya San. "Oke, oke, aku buka makanannya, tapi gak akan aku makan. Abis ini, kamu temenin aku makan di luar."
Kami berpindah ke sofa. San meletakkan bungkusan yang Eunwoo bawa ke tengah meja dan membukanya.
Aku sendiri takjub melihat isi tote bag itu. Isinya ada tiga kotak makan kecil berbentuk kubus, masing-masing kotak itu berbeda-beda isinya tetapi yang pasti, semuanya tertata dan dihias rapi.
"Wow, Eunwoo pasti butuh banyak waktu buat nyiapin semuanya," ucapku.
"Yeah, dan aku gak peduli," ucap San. Ia menutup kembali ketiga kotak makan tersebut dan menyusunnya kembali, "Kita bawa ke pantry aja, selama dia tau kalau kotak makannya kosong, dia pasti seneng. Eventhought it ain't me who eat the meals."
San bangkit dari sofa. Sebelum pria itu melangkah, aku meraih tangannya, menahan langkahnya.
"Kamu beneran gak mau makan ini, sama sekali?" tanyaku.
San menggeleng, "Gak. Anything related to Eunwoo, aku gak peduli. Mungkin kedengeran jahat, tapi kamu tau kan, aku punya kamu and that's enough."
San menarik lembut tanganku, membuatku berdiri sejajar dengannya.
And again, he give me that addictive kiss that melts my world away. With his hands coming closer and closer, we keep repeating about making a same mistakes.
San melepaskan tubuhnya dan menatapku. "Maaf, karena kamu harus selalu berpura-pura setiap Eunwoo dateng. I know it hurts you a lot, I'm sorry," ucap San.
Aku mengulurkan tanganku, meraih pipi San dan membelainya lembut. "I'm ok, seenggaknya aku tau kalau aku punya kamu," balasku.
"You'll always get my heart, queen," bisik San, tepat di telingaku. "If someday I divorce her, let me know that your heart opened, still."
He says that I'm his queen, a part of his kingdom, his rule, and his bed. As long we keep this lowkey, nothing is worth to fear.
note.
ku ramal, sweet chaos ini ngga panjang
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos ➖ATEEZ San [✔]
Fiksi PenggemarI don't gotta know if you're taken, I'll just let ya know bedroom's vacant, No one's gotta know, Just us and the moon, Until the sun starts waking up. Originally written by Penguanlin, 2020.