Think, then believe it. Truth will find its way.
— NCT Dream, Fireflies
Sampai kapan gue mau berperang sama pikiran dan perasaan gue sendiri?
Sempat berpikir sejenak tentang hal itu, gue langsung menggeleng cepat, menepis pikiran abstrak yang membanjiri otak gue selama dua hari terakhir.
Begini, setahu gue nih ya, yang namanya perang itu diawali dengan deklarasi perang. Dan sejauh ini, kayaknya gue belum pernah deh mendeklarasikan diri buat perang sama pikiran dan perasaan gue sendiri. Sayang atuh, jarang-jarang ada makhluk bentukan gue begini di muka bumi ini. Masa iya mau diajak perang, apalagi sama diri sendiri.
Tapi hasutan dari lingkungan gue—keluarga gue, terutama satu orang yang tinggal seatap sama gue saat ini—selalu bikin gue merasa serba salah. Buat memutuskan apakah gue emang betul punya perasaan yang lain buat kak Doyoung, enggak gampang. Gue perlu mengecek perasaan gue sendiri dulu, menganalisis situasi—buset udah kayak skripsi gue beneran, dan meyakinkan diri. Gue cuma enggak mau kalau perasaan gue yang muncul itu ternyata cuma hasil sugesti dari orang-orang sekitar gue yang kepingin gue dan kak Doyoung cepat-cepat keluar dari zona denial ini.
Oh, soal kak Doyoung, gue enggak tahu gimana perasaan dia ke gue. Sampai detik ini sih gue lihat dia aman-aman aja dalam koridor yang semestinya—dalam artian no affair lah. Terakhir kali gue lihat dia berurusan sama cewek lain ya cuma waktu sama mbak Sarah aja—kalau Sana, beda lagi urusannya. Setelah gue sedikit protes soal permintaan mbak Sarah ke kak Doyoung, laki-laki itu enggak kelihatan lagi jalan sama mbak Sarah.
Ini sih antara emang beneran kak Doyoung enggak pernah jalan sama mbak Sarah lagi atau gue aja yang enggak lihat. Tapi kalau ternyata kak Doyoung ada main di belakang, gue bisa apa? Status gue dan kak Doyoung kan sebatas suami istri. Soal perasaan kak Doyoung, siapa yang bisa menjamin bakalan terikat sama perasaan gue juga?
"Terus, sekarang Doyoung-nya ke mana?" Suara mama menarik kesadaran gue yang sempat tenggelam kembali ke permukaan.
Gue meluruskan dengkul gue yang sempat terlipat agak lama karena tanpa sadar gue duduk memeluk lutut di atas sofa depan televisi. "Orangnya lagi ngambil mobil dari tadi sore. Diservis dari hari apaan tahu tuh. Bilangnya kelupaan terus tiap mau ngambil dari kemarin-kemarin."
"Oh... kalian berdua nggak lagi ada masalah apa-apa kan, ya?"
Kedua alis gue kontan menukik tajam. Gue yakin kanan kiri udah bersatu di tengah kayak perosotan saling hadap. "Hah? Masalah gimana, Ma? Kok tiba-tiba nanyain masalah?"
"Sebenernya belakangan ini mama jadi sering kepikiran kalian berdua."
"Kok bisa?!"
"Habisnya mertua kamu kadang suka telepon, nanyain kamu sama Doyoung," tutur mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Scriptsweet ✔
Fanfiction[TERBIT DI PENERBIT NARATAMA - SEBAGIAN CERITA DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] [eduseries] Seandainya Jane memutuskan untuk menunda skripsi sampai tahun depan demi menghindari Doyoung, ceritanya mungkin tidak akan mengalir seperti ini. Start...