"I get pulled by you from the other side of world."
— NCT 127, 0 Mile
Biasanya, sepulang kak Doyoung subuhan di masjid, gue menyempatkan diri buat ngobrol sama dia di sofa depan televisi. Kebanyakan sih bahas analisis skripsi gue, tapi kadang juga sempat bahas hal lain yang menurut gue sifatnya random. Saking randomnya, kadang rute busway aja sempat masuk ke percakapan. Debat koridor itu lewat sini lah, kadang lewat situ lah, emang lebih banyak bahas rute sih sebetulnya. Kan gue udah pernah bilang, dia tuh lebih cocok jadi supir busway daripada dosen.
Well, di antara bahasan-bahasan random itu, yang paling sering masuk ke topik bahasan adalah tentang keluarga.
Belakangan ini, dia mulai sering tanya-tanya silsilah keluarga gue. Dari mulai kak Johnny yang paling lengket sama gue—tapi sedih juga, soalnya sekarang gue enggak sesering dulu ketemu kak Johnny—sampai sepupu jauh gue. Biar imbang dan enggak terkesan timpang, gue juga suka ikut tanya soal urutan keluarga kak Doyoung. Gue enggak tahu kenapa ide tentang keluarga mulai mengambang ke permukaan. Mungkin jiwa kepo gue dan kak Doyoung lagi kumat aja tiap bahas silsilah keluarga. Dan yang jelas, secara enggak langsung, itu bikin gue dan kak Doyoung perlahan terasa... makin dekat.
Iya, dekat.
Meski sering begitu, sayangnya, bahasan itu kebetulan enggak berlaku buat hari ini.
Gue bakalan sidang sesi pertama alias jam delapan tepat. Kak Doyoung maunya gue dan dia udah sampai di kampus selambat-lambatnya jam setengah delapan buat review sebentar di ruangannya. Sebetulnya bisa-bisa aja sih di apartemen, tapi masalahnya lalu lintas di Jakarta terlalu susah buat ditebak kelancarannya. Terlambat lima menit berangkat aja bisa bikin gue dan kak Doyoung jadi terlambat setengah jam sampai di kampus.
Makanya, gue udah mandi sepagi ini demi menuruti perintah kak Doyoung. Bahkan langit masih benar-benar gelap waktu gue menyibakkan gorden di sisi kamar. Meninggalkan penampakan luar jendela yang hampa, perlahan gue menyeret langkah ke depan meja rias yang penuh dengan perlengkapan skincare dan make up gue.
Jadi flashback. Waktu pertama kali gue menginjakkan kaki di kamar ini, gue ingat banget, meja rias kak Doyoung benar-benar lengang tanpa barang-barang gue. Kalau enggak salah ingat, waktu itu cuma ada deodoran, minyak wangi, gel rambut, sisir, dan sepaket alat cukur yang terletak persis di dekat cermin. Itupun susunannya rapi banget.
Tapi sejak gue di sini, barang-barang gue mendominasi meja rias kamar ini. Untungnya kak Doyoung enggak pernah protes. Jelas lah, soalnya dia diam-diam suka pakai losion gue kalau mau tidur. Persis kak Johnny banget, tapi ya udah lah gue ikhlas lahir batin. Lagian juga dia mintanya cuma sedikit, enggak kayak kak Johnny yang suka enggak ada otak nuanginnya kebanyakan.
Berdiri di depan cermin, gue manatap pantulan diri gue sendiri. Setelah beberapa detik, gue sadar. Jane yang kecil sekarang udah dewasa. Gue udah bukan lagi anak lima tahun yang cuma bisa merengek gara-gara mama atau papa enggak ngizinin gue main hujan-hujanan di halaman belakang. Bukan cuma udah kepala dua, tapi gue juga udah nikah. Mau gimanapun juga, gue harus bisa bersikap lebih dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Scriptsweet ✔
Fanfiction[TERBIT DI PENERBIT NARATAMA - SEBAGIAN CERITA DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] [eduseries] Seandainya Jane memutuskan untuk menunda skripsi sampai tahun depan demi menghindari Doyoung, ceritanya mungkin tidak akan mengalir seperti ini. Start...