"I hope this isn't accidental because my heart knows you first."
— 4MEN, Reason
"Ngapain kamu senyum-senyum begitu?"
Pertanyaan bernada pedas dari kak Doyoung bikin gue mau enggak mau langsung menengok ke arahnya. Dia tetap fokus dengan kemudinya, memandang lurus ke arah jalan di depan. Hari masih terlalu awal buat macet karena emang kebetulan sekarang belum masuk jam pulang kerja. Makanya, jalanan yang gue dan kak Doyoung lalui cukup lancar meskipun agak ramai.
"Emangnya nggak boleh?"
Kak Doyoung perlahan memindahkan posisi persneling tanpa mengalihkan tatapannya dari pemandangan di depan. "Serem aja kalau ada orang, yang dari tadi merengut, terus jadi senyum-senyum nggak jelas kayak begitu."
Membalasnya, gue berdecak pelan. "Tadinya saya kepikiran nilai sidang skripsi saya yang masih ada embel-embel minusnya di belakang huruf A. Maksud saya, kenapa nggak dibikin A bulat aja sekalian biar kayak Renjun gitu? Biar ada yang patut saya banggain juga gitu loh, Pak."
Kak Doyoung membuka mulut. Kayaknya dia mau menceramahi gue sampai titik darah penghabisan. Daripada urusannya jadi lebih panjang, gue memutuskan buat menyela lebih dulu. "Ya udah lah. Toh saya juga udah dinyatakan lulus. Unofficially sih, tapi kan udah nyicil tenang. Tinggal nunggu wisuda bulan depan."
"Revisi jangan lupa dikerjain." Kak Doyoung mengingatkan gue. "Wisuda sih wisuda. Tapi kalo revisian kamu nggak kelar sampai batas waktu yang udah ditentuin, kamu nggak bisa ikut wisuda."
Gue mencibir kesal. "Kenapa harus ngingetin revisi sekarang, sih? Biarin saya tenang tanpa ingatan skripsi dulu kek. Saya pengen lupain skripsi dulu selama tiga hari ke depan karena kan nggak mungkin juga saya mikirin skripsi sambil jalan-jalan di Jogja. Otak aku tuh nggak kuat."
Kak Doyoung berdecak pelan, lalu memutar kemudinya buat berbelok ke kiri. "Tck, pakai aku-akuan segala," gerutunya. "Bilang aja kamu tuh males ngerjain skripsi dan pengen full main-main selama di Jogja."
"Nah, itu tahu."
"Saya kan udah pernah jadi kamu. Makanya, saya tahu gimana rasanya mahasiswa yang baru selesai sidang dan mentalnya berasa kayak kena guncangan yang lebih ekstrem daripada gempa bumi."
"Tergantung skala gempanya sih, Pak. Kalau cuma satu skala Richter, mana berasa."
Kak Doyoung menoleh sebentar. "Yakin?"
Hampir aja gue searching beneran soal dampak gempa bumi satu skala Richter, tapi udah lah. Ogah, kayak kurang kerjaan banget. "Eh, nggak tahu sih. Ah, Bapak mah suka bikin saya ngerasa bego. Males saya temenan sama orang pintar."
"Saya kan bukan temen kamu."
Gue langsung menengok ke arahnya yang masih memasang tampang datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Scriptsweet ✔
Fanfiction[TERBIT DI PENERBIT NARATAMA - SEBAGIAN CERITA DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] [eduseries] Seandainya Jane memutuskan untuk menunda skripsi sampai tahun depan demi menghindari Doyoung, ceritanya mungkin tidak akan mengalir seperti ini. Start...