9

33 6 0
                                    

"Bagaimana, Ca? Emak mah terserah sama Lo aja," ucap Emak menyerahkan semua keputusan kepada putrinya.

Ica diam. Dia bimbang. What? Ica bimbang? Padahal, dia adalah wanita beruntung yang dapat memiliki pria tampan seperti Hanif.

"Ica ...."

Semua memperhatikan apa yang ingin Ica katakan. Hanif tersenyum, tapi hatinya merasa berdebar begitu kencang. Takut Ica menolaknya. Itu akan membuat sakit hati.

"Ica pikirkan dulu ya, Bang." Sebuah kalimat 'pikirkan' membuat Hanif sedikit muram. Wajahnya kembali datar menunjukkan dia tidak setuju dengan keputusan Ica.

"Ya, tidak apa, Ca. Abang beri waktu 7 hari buat kamu pikirkan ini semua," kata Hanif tersenyum palsu.

Ini hal yang tidak diduga. Wanita pujaannya harus memikirkan ini semua. Padahal, baru melamar belum sampai diajak menikah. Nyali Hanif semakin ciut.

Semua orang yang ada di sana diam. Melihat keputusan yang dibuat oleh putri jeleknya itu. Mungkin, Ica hanya ragu atas semuanya. Ica ragu kalau bertemu dengan teman kantor, sahabat, atau bahkan orang tua Hanif. Iya, ragu kalau mereka bisa menerima keadaan dia.

Wajah tak cantik, tubuh mungil, ceroboh, tak bisa dandan, tidak mencerminkan dirinya wanita dan karena ini semua yang menakuti dia menerima lamaran.

"Oh ya, ayo makan!" Hana mencairkan suasana tegang agar menyantap hidangan yang telah disediakan.

Mereka mengangguk. Pertanda setuju.  Makan bukanlah hal yang sulit, tapi menatap wajah Ica itu yang membuat Hanif semakin penasaran mengapa harus ada kata 'pikirkan'.

Sejenak, tatapan Hanif tak henti-hentinya memandang wajah Ica. Itu membuat Ica semakin tak enak hati. Sebenarnya, dalam lubuk hati ini ingin menerima, tapi entah bisikan darimana Ica harus menetapkan dahulu dengan matang-matang.

'Ya Allah, semoga saja ini keputusan yang tepat,' batin Ica.

Sedangkan yang lain, mereka sama. Mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. Sempat, Abah dan Emak berpikir kalau Putrinya ini akan menerima lamaran Hanif. Namun, mungkin keputusan yang diambil Ica adalah kebenaran bagi kehidupan di masa depan kelak.

"Mak, Sandi pergi dulu." Berdiri dan pergi dari tempat makan.

"Mau ke mana, Lo?" tanya Hana.

"Mau jemput ayang bebeblah. Hahaha."

Sandi pergi. Namun, suasana tetap sama. Hening. Tiada suara dari siapapun.

"Nak Hanif, kamu bilang akan menunggu jawaban Ica 7 hari lagi," ucap Abah memulai pembicaraan.

Hanif mengangguk. Memperhatikan apa yang ingin calon mertuanya ini ucapkan. Sesekali juga, dia memandang pujaan hati.

"Babeh mah berharap kamu bawa keluarga. Jangan sendiri seperti ini. Kan kalau sama keluarga, kita bisa saling kenal dan mengerti akan keadaan."

"Akan saya usahan, Beh." Hanif menunduk. Kalimat yang pasti akan terlontar dari orang tua.

"Sudah, sekarang lebih baik kalian siap-siap. Isya sebentar lagi akan datang." Emak menenangkan semuanya. Mencoba mengalihkan pembicaraan.

Mereka pun segera merapikan diri. Babeh dan Hanif bersiap-siap ke masjid. Sedangkan Emak, Ica, dan Hana terlebih dahulu membersihkan meja makan lalu dengan sigap melaksanakan kewajiban.

Beberapa menit kemudian, ibadah telah dilakukan. Hanif meminta izin untuk pulang. Kembali memandang Ica, dan berbisik, "Aku akan menunggu jawabanmu."

Ica diam. Bingung mau apa. Tidak seharusnya dia mengatakan kata itu. Harusnya dia bilang setuju. Agar Hanif tersenyum di setiap waktu.

"Babeh, Emak, Hanif pulang dulu. Insyaallah Minggu depan bertemu kembali," ucap Hanif mencium punggung tangan.

"Ingat pesan babeh! Jangan sampai dilupakan buat Minggu depan."

"Siap." Senyuman palsu Hanif mungkin akan membuat sedikit tenang hatinya.

Lagi-lagi, Ica berbeda. Dia tidak mengantarkan Hanif ke depan rumah. Sekedar mengucapkan hati-hati atau jika perlu menerima lamaran ini.

Maaf, Bang. Aku sangat mencintaimu. Namun, hari ini aku yang membuatmu hancur. Maaf.

~~~Tbc

Yeay, arigatou buat semua yang udah baca☺️
Tetap stay tunggu w update ye

W usahain cepet nih hahaha

Bumi dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang