12|Hanif

31 3 2
                                    

"Masa lalu yang menyakitkan bukan hanya mudah dikenang, tapi tidak akan terlupakan."

🔥🔥🔥

"Berhenti! Ayah bilang berhenti ya berhenti!" ucapnya menggebu-gebu.

Bunda membalikkan badan. Tetesan air matanya pun keluar. Ah, baru aku lihat dia menangis. Apa cuma tangisan palsu?

Mungkin mereka tersindir. Makanya, ayah marah dan bunda nangis. Namun, itu tetap saja tidak merubah semuanya.

"Ayah ingat, ketika Harun menusukkan pisau ke dalam tubuh wanita mungil yang aku sayang?"

Ayah diam. Tepat, dia tidak bisa mengelak semua perbuatan Harun—yang katanya anak kesayangan—, tapi membunuh bidadari yang tidak tau apa-apa.

Ah, kenapa harus membongkar semuanya. Tujuan aku saat ini cuma suruh mereka setuju dan datang ke rumah Ica. Kalau sudah diterima lamarannya ya tinggal aku ajak nikah. Simpel harusnya.

"Sudahlah. Pokoknya Hanif mau ayah dan bunda datang ke rumah wanita yang aku cintai minggu ini. Tidak ada kata tolak," ucapku tegas. "Bukan begitu cara berbicara yang anda ajarkan?" godaku kepada ayah.

Bunda tetap menangis. Mengingat semua kejadian yang seharusnya tidak terjadi. Kehilangan salah satu anggota keluarga. Dan itu pun karena anggota keluarga sendiri.

"Hanif, maafkan bunda. Bunda janji akan datang minggu ini menemani kamu menemui gadis yang kamu cintai." Cairan bening tiada berhenti. Tetap menetes hingga rasa ini tak tega melihatnya.

"Terima kasih."

"Ayah juga akan menemani."

Rasanya hari ini bukan hari yang runtuh lagi, tapi hari di mana awal keluarga ini kembali.

Aku pun melangkah ke atas. Menuju ke kamar untuk mengistirahatkan semua pikiran. Cukup senang karena ayah dan bunda mau menemani. Semoga mereka bisa menerima apa adanya.

"Ica, aku tau kamu itu bakal menerima lamaran aku. Dan tenang sesuai janji, ayah dan bunda akan datang ke sana." Senyumku melihat bayangan sendiri.

Senang, tentu. Namun, masih terselinap semua kejadian yang tak pernah dilupa ditambah lagi sikap ayah dan bunda.

Bukan berarti hanya karena bunda meminta maaf dan mereka mau ikut menemani melamar, aku memaafkannya. Takkan mungkin bisa karena di dalam hati masih terbayang akan sakitnya rintihan bidadari kecilku.

Aku kembali pergi ke kamar. Kali ini bukan untuk istirahat, tapi mengambil kunci mobil untuk pergi ke suatu tempat.

Setelah mengambilnya, aku langsung menyalakan dan berangkat tanpa berpamitan. Itu sudah hal yang lumrah dalam keluarga tanpa ada pamitan.

Beberapa menit, sampai sudah di tempat ini. Tempat di mana aku harus menceritakan seluruhnya di sini. Di kuburan.

"Bidadari kecil, Abang. Kamu tau gak? Sebentar lagi kamu mau punya kakak perempuan yang siap melindungi kamu dari siapapun." Cairan bening seketika keluar. Tak tahan mengingat adik kecil yang aku sayang harus pergi. Dan itu semua karena Harun.

"Terus kak Ica juga bakalan jadi teman kamu kok. Abang janji, dia pasti suka banget sama semua tingkah lucu kamu." Tangisan ini pun semakin pecah. Tak dihiraukan berapa banyak orang melihatku.

Aku pun memanjatkan doa agar bidadari kecilku bisa bahagia di sana. Tak ada yang menyiksa apalagi membunuhnya.

Kutaburkan bunga merah di atas tempat peristirahatan terakhirnya. Isak tak dapat henti. Semakin keras dan pasti menyakitkan sekali. Andai dulu aku menolongnya, tidak bakal kejadian seperti ini.

"Harun, kamu baru mendapatkan kegilaan sekarang belum mendapatkan hukuman dari Tuhan dan aku."

~Tbc

Jreng jreng jreng
Ada apa dengan keluarga Hanif? Semakin rumit😶
Baca terus yeeee
Jan lupa vote 🥰

Bumi dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang