2

102 13 2
                                    

Hey semua, semoga pada suka ya:*
Jangan lupa vote hehehe
Eh kalau mau kritik juga boleh, boleh banget malah

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

"Abang.......... itu kasian kan tong sampahnya sampai bonyok gitu." Tercengang. Iya, Hanif tak menyangka dengan pacarnya ini, dia justru mengkhawatirkan tong sampah dibandingkan dengan mobilnya.

"Yah, lecet kan!" lesu Hanif.

"Kamu kenapa tadi gak bilang sih, kan nanti Abang bisa menghindar."

"Udah bilang, ABANG!" ucap Ica.

"Sudahlah, lebih baik kita teruskan jalannya." Hanif menarik tangan Ica dan menyuruhnya masuk ke mobil.

Tak perlu waktu lama, Hanif pun dengan sigap menyetir mobilnya kembali dan sekarang dengan hati2.

Diperjalanan Ica masih memikirkan nasib tong sampah itu. Dia hanya kasian terhadap tong sampah yang sudah menyimpan barang-barang kotor manusia dan dengan mudah manusia pun merusaknya.

"Bang, apa kita gak pulang saja?" tanya Ica memandang Hanif.

"Ca, plis. Jangan mandang aku dulu deh," kata Hanif. Ica bingung dan memilih kembali menatap pemandangan.

"Maaf ya, bukannya gak boleh mandang cuma aku takut kayak tadi. Kamu itu terlalu manis buat aku kembali pandang. Apalagi jika melihat senyummu pasti akan jatuh sejatuh-jatuhnya."

"Paan sih, gaje."

Jujur, Ica saat ini sedang dalam keadaan darurat. Kata-kata Hanif membuat dia makin terbang. Hanya alasan gaje membuat kelonggaran agar hati ini tak semakin berulah.

Beberapa menit kemudian, mobil Hanif telah sampai pada tujuan. Ica sama sekali tak tahu di mana sekarang.

"Bang, ini di mana?" tanya Ica.

"Yuk, masuk dulu!" ajak Hanif menggenggam tangan Ica erat.

Rumah ini sederhana. Lebih tepatnya di depan saja. Iya, Hanif mengajak Ica pergi ke rumah Oma. Ingin mengenalkan sekaligus menjeguknya.

Ica hanya bisa menelan ludah. Rumah ini di depan sederhana, tapi saat masuk seperti istana. Desainnya ini membuat semua orang yang datang akan tak berkedip sekejap saja. Tema antik sungguh mempesona.

"Assalamualaikum, Oma," ucap Hanif pada wanita tua di kursi roda.

"Hanif, cucuku. Akhirnya kau kemari juga, Sayang." Oma mengecup pipi Hanif lalu melepaskan kecupan setelah melihat wajah manis Ica.

"Hai, itu wanita siapa? Atau jangan-jangan ...," ledek Oma.

"Iya, ini pacar Hanif, Oma. Tadi baru diresmikan." Hanif menatap Ica.

"Assalamualaikum, Oma. Haisha Hanum Hanania, panggil aja Ica." Mencium punggung tangan Oma.

"Jadi Ica ini pacar Hanif. Kamu harap bersabar menghadapi sikap anak nakal ini," kata Oma tersenyum.

Suasana saat ini benar-benar membuat istana, ralat rumah sangat ramai karena kehadiran Hanif dan Ica.

Oma sangat bahagia. Dia hanya ingin cucunya mempunyai pasangan untuk menemani di hari tua nanti.

"Ica," panggil Oma.

"Iya, Oma." Ica mendekat.

"Oma harap, kamu bisa selalu ada untuk Hanif. Oma cuma mau dia bahagia. Cukup masa lalu yang buat dia menderita. Dan kamu yang akan buat Hanif tersenyum untuk selamanya."

Ica hanya mengangguk tanpa harus menjawab. Ingin sekali kata-kata Oma untuk ada buat Hanif selamanya menjadi kenyataan, tapi apa dia mampu dengan hinaan di luar sana?

"Ini Oma. Diminum ya obatnya!" perintah Hanif agar Omanya ini meminum obat yang diberi dokter.

"Iya, cucuku."

"Hanif," panggil Oma. Hanif pun mendekat.

"Jenguklah Harun, Nak!" Ini kalimat yang selalu buat Hanif benci datang ke sini. Selalu berbicara perihal pria brengsek itu.

"Hanif, lihat Oma! Kamu tak boleh membencinya. Bagaimanapun dia adalah kakakmu. Ayah dan bundamu saja dia sering menjenguk keadaan Harun yang semakin hari semakin parah."

Hanif masih saja diam tak berkutik. Sedangkan Ica bingung dengan semua ucapan Oma Hanif. Tak mengerti tepatnya.

Ica menatap Oma yang kembali murung. Menangis, salah satu hal yang dibenci Ica. Dia tak mau orang-orang yang disayanginya menangis. Tunggu dulu, Ica memang baru mengenal Oma, tapi dia sudah sayang terhadapnya.

"Hanif akan usahakan." Hanif pergi meninggalkan Oma dan Ica.

Ica mendekat dan menghapus air mata Oma. Dia menenangkan sekaligus membawa Oma untuk beristirahat.

"Maaf ya, Sayang. Oma tadi buat kamu tidak mengerti, tapi kamu juga bakal tau nantinya." Senyum Oma kembali mengembang walau deraian air mata masih bercucuran.

Bumi dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang