"Ayo makan!" ajak emak.
"Sudah, tidak usah repot-repot. Kami ingin segera pulang karena ada urusan kembali." Ayah Hanif menolak secara halus, tapi Ica tau kalau ini bukan levelnya mereka.
Hanya saja ini yang selalu Ica pikirkan. Keluarganya sederhana sedangkan mereka luar biasa ditambah lagi perihal masalah Hanif yang Ica tidak mengetahui sama sekali.
Lirikan tajam Hanif membuat paham apa yang dikatakan orang tuanya itu. Sungguh memalukan. Pekerjaan dan pekerjaan. Itulah keluarga Hanif.
"Ah, baiklah jika Tuan sibuk. Mungkin lain kali bisa menikmati hidangan kami," ucap emak lemah lembut.
Hanif malu. Iya, ayah dan bundanya tidak menghargai usaha keluarga Ica.
"Bang, senyum dong," ucap Ica berusaha menghilangkan amarah Hanif.
Iya, Hanif senyum, tapi hanya palsu. Menutupi semuanya dengan senyuman paksa.
"Memalukan!" batin Hanif.
Tanpa rasa bersalah. Orang tua Hanif pergi meninggalkan rumah Ica. Betapa sangat sibuknya mereka. Hingga tak mengerti tata krama.
Sedangkan di dalam sana, terlihat wajah kecewa sebuah keluarga. Mereka menyiapkannya dengan penuh semangat dan cinta, tapi apa yang terjadi sekarang, makanan tak disentuh sama sekali.
Lelah. Itu jelas. Hanya saja mereka harus memahami. Orang kaya pasti sangat sibuk dengan segala kerjaan dan kertas yang berceceran.
"Hanif mau makan, Mak!"
Terlihat jelas senyum mereka pancarkan. Hanya dengan kalimat yang begitu sederhana. Tanpa sadar, itu sangat menyemangati bahwa pilihannya benar.
"Ayo!" ajak Babeh.
"Makanlah yang banyak, Menantu. Maaf hidangannya sangat sederhana," ucap Emak.
Ica. Dia bahagia. Iya, hari ini tidak akan pernah dilupakan. Karena apa? Karena keluarganya bisa tertawa dengan sang kekasih.
Hanif memakan dengan lahap. Mungkin dia lapar atau memang enak. Pasalnya, jarang dia memakan makanan hasil buatan orang tua. Dan ini pertama kali ketika merasa ada kehidupan dalam meja makan.
Dulu pernah. Hanya saja, semenjak kejadian itu semuanya berubah. Asing atau bahkan mengasingkan.
Kenyataannya masih sama. Dari dia keluarga berbeda Hanif harus memilih keluarga yang penuh cinta bukan harta.
Uhuk... Uhuk...
"Ini minum, Bang." Diserahkan segelas air dari Ica.
"Jangan buru-buru ngapa! Selow aje. Lagian kita semua juga kagak bakal ngabisin nih makanan," oceh Sandi yang masih dipenuhi makanan di mulutnya.
"Eh tolol," pukul Babeh ke kepala anak sulungnya itu. "Lo juga jangan makan sambil ngomong."
Dan mulai kembali perkelahian antar bapak dan anak. Begitulah keluarga Ica. Sehari tanpa keributan seperti hampa tanpa pasangan.
Ica mengisyaratkan Hanif untuk mundur pelan-pelan. Iya, kabur dari keributan. Kalau mau tetap di sana tidak jadi masalah hanya saja nanti kena getahnya.
Prang .... Prang ....
Terdengar piring jatuh. Emak yang sedari tadi diam sekarang mengeluarkan taringnya. Jurus andalan segera dikeluarkan. Dengan begitu selesai sudah hidup mereka berdua.
"Maaf ya, Bang," ucap Ica tertunduk malu.
"Buat?" tanyanya balik.
Ica menunjukkan jarinya ke dalam. Hanif hanya tersenyum.
"Gak papa. Justru aku bahagia melihat mereka adu jotos seperti anak-anak," kata Hanif santai.
"Apa? Bahagia? Wah gila nih." Ica menarik ujung lengan bajunya.
Bugh...
Satu tinjuan mengarah ke pipi Hanif. Tentu, pria itu bingung. Ada apa dengan kekasihnya ini?
"Gimana? Bahagia?" tanya Ica.
"Duh sakit tau," ringis Hanif memegang pipinya.
"Sakit kan? Itu yang Babeh sama Kang Sandi rasain." Mengerutkan bibirnya.
"Maaf, Ca. Lagian aku belum pernah merasakan hal seperti itu," ucap Hanif.
"Hah?"
"Bukan apa kok." Mengelus jilbab Ica.
Termenung. Iya, Ica benar-benar dibuat kelabakan hari ini. Masalah tak kunjung selesai, tapi kesenangan pun menghampiri tanpa ampun.
Ini bukan akhir dari kisahnya, tapi berasa bahwa Hanif mampu menjadi pemimpin yang baik sekaligus bakal membimbingnya ke arah yang benar.
"Bang!" panggil Ica.
"Hm."
"Semoga nanti ketika kita berumah tangga seperti emak dan babeh juga kayak ayah dan bunda. Bisa mempertahankan keluarga sederhananya ini." Memandang mata Hanif.
"Ah, iya. Semoga," ucap Hanif. Terlihat raut wajahnya yang terpaksa mengatakan iya. Mendengar orang tuanya menjadi panutan kekasihnya ini. Tak pantas.
Dret.... Dret..... Dret....
Ponsel bergetar milik Hanif. Namun, Ia hanya melirik sekilas lalu menyimpan kembali ke sakunya.
"Siapa?" tanya Ica.
"Orang asing," kata Hanif.
"Jangan-jangan ...." Ica mulai penasaran siapa yang menelepon Hanif, tapi dia matikan bukan mengangkatnya.
"Apa?" Jantung Hanif memompa secepat kilat. Takut kalau Ica tau siapa yang meneleponnya tadi.
"Tagihan listrik ya!" ucap Ica polos.
Sungguh, Ica membuat gemetar tubuh Hanif. Seakan Hanif dipaksa untuk senyum walau tubuhnya saat ini mati rasa.
~Tbc~
Assalamualaikum semuanya 🙃
Semoga kalian ga bosen ya baca ceritaku ini😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Bulan
Teen Fiction"Mulai hari ini, Adek jadi pacar Abang." Sebuah kalimat terlontar saja dari pria tampan. Menatap wanita pujaan yang disayang dan selalu dinanti kehadirannya. "Bang, maaf sebelumnya. Adek ini kan jauh dari kata sempurna sedangkan Abang itu lebih dar...