10

37 6 4
                                    

"Kalau suka ya bilang suka. Kalau cinta bilang cinta. Jangan di tunda-tunda nanti diambil orang."

💫💫💫

Ica emang bodoh. Udah tau suka, tapi gak langsung menerima. Ini hal yang selalu buat cowo jauh darinya.

"Eh Caca marica, lo tuh ya udah enak ada yang ngelamar eh Lo malah masih mikir-mikir. Oon banget," geram Hana.

Ica diam. Justru semuanya semakin rumit. Pikirannya tertuju menerima, tapi hati ragu. Sebenarnya, ada apa dengan hatinya ini?

"Ca, Babeh emang sih demen amat sama tuh bocah ya. Udah baek, cakep, terus royal. Napa Lo masih mikir-mikir buat nerima dia?" tanya Babeh diikuti lirikan mata Emak.

Ica terpojokkan. Mereka tak mengerti apa yang ada dipikirannya saat ini. Dia terlalu sulit untuk mengungkapkan. Terlalu sulit untuk menerima apa yang telah dia alami selama ini. Semua tak tau. Hanya dirinya yang tau.

"Ca ...." Emak berbicara, tapi Ica justru pergi ke kamarnya.

"Etdah Buster tuh bocah, gue ajak ngomong malah pergi. Untung anak gue," gerutu Emak.

Tiap langkah, kakinya terlalu lelah. Bukan, bukan karena langkahnya, tapi otaknya terlalu bekerja di luar batas.

Dirinya terlalu menyimpan kenangan pahit dari segitu banyak kenangan manis dari pria tampan itu. Memang tak lama berpacaran, tapi bisikan mereka jauh lebih lama dan buat sakit hati dirinya.

Ica sadar betul dirinya tak pantas bersanding dengan Hanif. Namun, dia tidak ingin egois hanya karena ini. Kasian cinta yang ada di lubuk hatinya jika dia meninggalkan Hanif hanya karena keegoisan ini.

Hanif tentu akan marah. Dia tidak pernah yang namanya membedakan semua. Hanif selalu berusaha untuk menghiraukan semua pembicaraan tentang apapun pada diri Ica. Lalu, mengapa Ica masih belum percaya?

Tubuhnya terduduk lemas di atas ranjang. Melirik seluruh kamarnya yang di dominasi foto mereka. Iya, tepat di atas ranjang berada foto tampan, yaitu Hanif.

Isakannya kini semakin keras. Cairan bening selalu datang menemani kesedihan yang mendalam.

"Ah sial, kayak gini aja lebay amat. Padahal, gue cuma bilang mikir dulu ya nanti minggu depan bisa langsung nerima kok," gerutu Ica.

"Kenapa juga sih tuh Emak, Babeh, Hana ngomel mulu. Pusing gue. Rewel amat mereka. Ntar yang ngerasain sakit gue juga bukan mereka kan!" Kembali Ica berbicara sendiri untuk menenangkan pikiran dan hati.

Senyumannya kini telah usai. Melepaskannya dengan cara berbaring di ranjang. Bukan hanya itu, mendengar musik mungkin bisa membuat dirinya sedikit tenang.

Tak sampai satu jam. Ica telah masuk ke dalam mimpi. Kelelahan hari ini bukan dikarenakan pegal dalam tubuh, melainkan jiwa yang bergemuruh.

🍂🍂🍂

Ica, Ica, dan Ica. Itulah pikiran Hanif saat ini. Apakah dia akan menerima lamarannya minggu depan? Atau justru menolaknya? Sial, Hanif terjebak pada wanita biasa. Tak miliki paras cantik, tapi semua tingkah konyolnya membuat Hanif tak berhenti untuk mencintai.

Bukan hanya itu, dia ragu kalau orang tuanya mau diajak ke rumah Ica. Mereka sibuk. Tepatnya, sok sibuk. Pekerjaan lebih penting daripada keluarga. Hanya Omanya yang sayang kepada Hanif.

Sejak kejadian itu, sosok keluarga di mata Hanif adalah kejam. Kejam setajam silet yang mengiris pergelangan tangannya.

"Aku rindu Oma." Cairan bening kembali menetes mengingat semua kejadian dulu.

"Aku harap, semuanya bisa menjadi normal. Harun —si brengsek— bisa cepat di penjara." Semakin emosi jika mendengar nama itu. Dia bukan kakaknya lagi setelah kejadian itu.

Hanif menutup matanya. Mencoba menenangkan kembali. Menenangkan hatinya yang rapuh saat ini.

Sendiri. Iya, sekarang dia sendiri. Tak ada teman saat ini.

~Tbc~

Bumi dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang