Sedari tadi Jingga mencari-cari kemana perginya seorang Cindy. Sehabis jam olahraga selesai dia terpisah begitu saja dari Cindy. Padahal biasanya mereka akan pergi ke ruang ganti bersama. Tapi-- jangankan mengganti seragamnya dulu sepertinya Cindy masih memakai baju olahraga saat ini. Jingga bisa berspekulasi demikian karena seragam milik Cindy masih terlihat di lokernya tadi pas Jingga cek. Loker Jingga dan Cindy kan sebelahan.
Jingga celingukan pas di persimpangan koridor. Bingung juga mau cari Cindy kemana lagi. Jingga sudah capek. Ditelepon atau chat pun Cindy tidak merespon. Sebenarnya kemana kamu Cindy?
Namun saat berbalik ingin pergi ke kelasnya lagi, Jingga dibuat mundur satu langkah dan refleks juga mengelus dadanya karena satu orang di hadapannya sekarang.
"Ma-maaf mau apa, ya?" Ujar Jingga merasa hawa di sekitarnya mendadak aneh.
Ini orang di depannya bukan jawab malah liat penampilan Jingga dari ujung sepatu sampai ke atas kepala. Jingga risi? Jelaslah. Orang aneh.
"Lo pacarnya Arthur?" Tiba-tiba dia kasih pertanyaan. Matanya tuh masih natap Jingga mengintimidasi dan tangangnya bersedekap angkuh. Dari lagak dan wajah itu sudah songong.
"Iya" jawab Jingga menormalkan sikapnya.
Cewek yang sudah Jingga tau bernama Sabrina itu menarik salah satu sudut bibirnya-- meremehkan. Ketika Sabrina maju satu langkah menghampiri Jingga, refleks Jingga mundur lagi satu langkah juga.
Jingga merasa aura-aura tidak enak dari seorang Sabrina. Kaya nenek lampir auranya jahat.. eh tau ding.
"Apa yang dilihat Arthur dari cewek naif kaya lo." Katanya sinis.
"Maksut kamu?"
"Matanya si Arthur pasti sakit dulu bisa milih lo. Atau lo yang kegatelan sama Arthur?" Ujarnya seenak jidat. "Jangan-jangan lo main pelet lagi"
Jingga natap manik Sabrina. Dia merasa begitu direndahkan oleh kata-kata yang terlontar dari mulut sepupu kekasihnya itu.
"Maaf Sabrina. Mungkin aku nggak seperti kamu. Berpenampilan menarik dan cantik."
Sabrina menaikkan sebelah alisnya menunggu Jingga selesai dengan pembelaannya.
".. tapi aku mendapatkan Lino bukan dengan cara rendahan seperti yang kamu bilang tadi" tandas Jingga.
"Permisi"
Jingga daripada semakin sakit hati dan jadi tersulut emosi-- lebih baik dia pergi. Meninggalkan si Sabrina bersama seringainya yang tiba-tiba tercetak saat memandang kepergian Jingga.
"Gue bakal rusak hubungan lo sama Arthur. Tunggu aja.."
⛦⛦⛦
Sore itu, Jingga keluar dari dalam rumahnya. Niatnya sih mau siram rutin tanamannya. Amanah juga sih sebenarnya dari si ayah. Ayah Jingga itu suka sama tanaman. Makanya di depan rumah si ayah buat semacam tempat khusus buat tanaman-tanamannya. Dan selagi ayah yang jarang ada di rumah-- jadi diamanahin ke Jingga buat selalu merawat tanamannya.
Karena si ayah yang suka tanaman itu-- entah Jingga jadi ketularan suka. Jadilah sekarang ayah dan anak itu pencinta tanaman. Awalnya Jingga cuma koleksi jenis bunga dan tanaman hias. Tapi sekarang Jingga juga nanam tanaman obat juga. Lumayan nanti kalau dia pengin buat susu jahe tinggal ambil jahenya di pot. Hehe..
Pas Jingga ambil alat buat siram tanaman, kebetulan yang entah disengaja atau tidak. Yoko si tetangga depan rumah buka pagar rumahnya sendiri sambil nuntun sepeda. Jingga menyela buat curi pandang ke apa yang akan dilakukan Yoko di waktu yang sudah hampir petang itu.
"Jingga" panggil Yoko saat dia sadar menangkap sosok Jingga di matanya.
Jingga terkesiap. Sekarang dia tau deh rasanya natap orang diam-diam terus ke-gap.
"I-iya kak Yoko. Mau kemana sore-sore?" Tanya Jingga.
"Mau sepeda-an keliling kompleks" jawabnya. Subhanallah pakai senyum manisnya. Oleng deh oleng Jingga.
"Owww... iya kak Yoko. Jingga mau siram tanaman Jingga" balas Jingga.
Yoko senyum lagi sebelum naik ke sadle-nya. Diam-diam si Yoko itu suka kalau Jingga gelung rambutnya ke atas seperti sekarang. Kalau di jepang dia bilang kawaii. Iya, Yoko kan sejujurnya suka sama Jingga sejak tiga tahun lalu dirinya dan keluarga yang pindah ke rumah yang ada di depan rumah Jingga itu.
Siapa yang tidak bakal suka sama Jingga? Ceweknya kalem, manis kalau senyum dan tidak neko-neko kalau menurut Yoko. Di segi berpakaian pun Jingga selalu sopan dan tertutup walau tidak se-tertutup ukhti-ukhti. Gadisnya santun pun ramah.
Tapi memang sangat disayangkan karena Yoko yang telat sadar akan perasaannya dulu-- jadi keduluan Jingga-nya dimiliki orang. Mau tidak mau buat Yoko mundur alon-alon dong. Yahh kaya judul lagu kan!
⛦⛦⛦
"Arthur"
Sontan nama yang dipanggil memberi atensinya ke si orang yang memanggil.
"Kenapa?" Responsnya
"Apa yang lo cari dari Jingga?" Tanyanya.
"Maksut lo?"
Sabrina, iya yang bertanya itu si Sabrina. Cewek yang katanya sepupu Lino itu sedang duduk di sofa kamar Lino sekarang.
Sabrina mendengus karena Lino yang belum paham maksut pertanyaannya barusan.
"Dia cupu." Komentar Sabrina. Yang maksutnya tertuju ke Jingga.
"Lo nggak perlu urusin pacar gue Sabrina" tekan Lino sedikit jengah.
Dari pulang sekolah sampai malam ini Sabrina masih saja betah membahas pacarnya. Si Jingga.
"Tapi kan lo nggak pantes punya pacar kaya dia, Arthur. Cari cewek lain, kek" saran Sabrina.
"Kenapa harus?" Kata Lino. "Lo nggak perlu susah-susah ngurusin gue mau macarin cewek yang kaya gimana." Pungkas Lino.
Sabrina berekspresi dengan mimik tak sukanya. Tangannya tanpa Lino tau mengepal karena greget-greget gitu lah. Dinasihatin malah tidak mau. Lagian apa bagusnya cewek cupu itu di mata Lino, batin Sabrina.