Yoko yang sore itu sedang ada di balkon melihat Lino keluar dari rumah Jingga dengan tergesa. Wajahnya merah padam. Yoko jadi takut Jingga kenapa-napa jadinya. Sebab tadi dia seperti mendengar barang terbanting dari rumah Jingga. Samar juga tadi suara Jingga meneriaki nama seseorang. Apa mungkin ada kaitannya dengan kepergian Lino?
Tanpa babibu lagi, Yoko ancang-ancang pergi ke rumah Jingga setelah mobil Lino menghilang dari area kompleks perumahannya.
Pagar rumah Jingga bahkan tidak Lino tutup-- dibiarkan saja terbuka. Tapi Yoko tak peduli. Dia khawatir dengan keadaan Jingga sekarang. Tanpa permisi atau sebagainya dia main nyelonong masuk.
Suasana di lantai satu sepi. Yoko langsung saja menaiki anak tangga. Mau cari Jingga di kamarnya.
"Jingga." Panggil Yoko berbarengan dengan dia mengetuk pintu kamar Jingga.
"Ga. Lo nggak apa-apa?" Tanyanya dari luar.
"Jingga. Buka pintunya, Ga!"
Yoko yang semakin tak sabaran karena pintu tidak segera dibuka dan tidak mendapati sahutan apapun-- lalu mendobrak pintu. Dia benar-benar takut terjadi sesuatu dengan Jingga. Firasatnya benar-benar tidak enak.
"Kak Yoko" terdengar suaru itu sampai ke telinga Yoko. Yoko meredakan sejenak dobrakannya.
"Gaaa!!! Lo nggak apa-apa? Jingga!"
"Tolong"
Yoko panik. Dia mulai brutal mendobrak pintu. Kecemasannya tadi memang nyata. Jingga tidak baik-baik saja.
Dobrakan ke tujuh kali itu akhirnya membuahkan hasil. Pintu terbuka. Tapi Yoko bingung Jingga di mana. Dia tidak menemukan Jingga di kamarnya ini.
"Ga?"
"Lo di mana?" Yoko meneliti ke seluruh ruangan. Balkon pun dia cek. Tapi nihil.
"Kak Yoko. Tolong" rintih sebuah suara.
"Ga di mana? Jangan bikin gue cemas gini?"
Yoko masih mencari. Matanya yang menelisir pun terhenti ke pintu bercat putih di kamar Jingga. Kamar mandi.
Oh god!
Jangan bilang Jingga di sana. Sekali lagi Yoko mulai mendobrak pintu. Seperti tak masalah jika lengannya nanti terluka. Yoko harus menolong Jingga.
"Jingga!" Yoko menerobos masuk ketika pintu berhasil lagi dia buka.
Langsung saja dia bawa Jingga keluar. Badannya basah kuyub. Sangat mengenaskan keadaan Jingga kali ini. Tangan dan kakinya terdapat luka lebam. Sudut bibirnya berdarah.
Jingga memeluk Yoko dan mulai menangis.
"Lo kenapa, Ga? Lo diapain sama cowok lo?" Tanyanya.
"Li--no. Dia.. siksa aku" Jingga mulai bicara dengan nada bergetar. Badannya menggigil hebat.
Seperkian detiknya Yoko melepas pelukan Jingga. Dia ambil handuk untuk Jingga. Dia keringkan rambut panjang Jingga dengan handuk tadi.
"Udah ya jangan nangis lagi. Ada gue. Gue bakal lindungin lo, Ga. Nggak ada yang bisa siksa lo lagi." Yoko berkata sembari mengusap air mata Jingga.
"Kak Yoko. Makasih" kata Jingga. Air matanya kian jadi deras menetes.
"Tadi gue liat Lino keluar dari rumah lo. Makanya gue langsung ke sini. Perasaan gue nggak enak tentang lo. Dan itu benar adanya. Lo disiksa sampai kaya gini. Bangsat!"
"Itu karena kesalahan aku juga kak Yoko. Jadi ya emang aku harus terima ini." Kata Jingga
Yoko menaikan sebelah alisnya. "Maksut lo, Lino emang suka kaya gini? Jangan bilang ini bukan yang pertama?" Tanya Yoko menginterogasi.
Jingga mengangguk. "Ini udah yang kesekian kalinya. Tapi nggak separah hari ini." Lirih Jingga, dia jadi takut menatap Yoko.
Yoko menghela napasnya. Dia usap kasar wajahnya. "Lo kenapa nggak pernah bilang, Ga? Lo mau mati sama orang kaya Lino?"
Jingga menggeleng. "Tabiat Lino memang seperti itu kak" balas Jingga.
"Terus apa yang dia banting tadi? Tadi gue denger kaya ada suara barang pecah?" Tanya Yoko.
Jingga menunjuk salah satu pecahan barang-barangnya. Ada hairspray- vase bunga- dan yang paling parah Lino juga membanting foto keluarga Jingga. Ada nenek, ayahnya dan juga fotonya.
"Sekali lagi. Ayo gue bantu lo putus sama Lino. Atau gue bawa kasus Lino yang siksa lo ini ke pihak berwajib"
Jingga gelagapan. "Jangan" dia pegang lengan Yoko, seperti ingin mencegah apa yang sudah Yoko katakan tadi.
"Ya makanya. Dengerin gue. Gue bantu lo putusin Lino"
"Kakak yakin?" Jingga menatap Yoko penuh harap.
"Yakin."
🔸🔸🔸
"Arthurrrrr!!!"
Suara Jojo menggelegar setelah membuka pintu markas. Geng Arthur atau Lino memang punya markas sendiri. Tepatnya di apartemen milik papanya. Yang juga merupakan aset keluarga Lino.
"Apasih anjing. Berisik!" Lino yang tadinya nyaman goleran di sofa-- natap tajam ke Jojo yang sudah ada di dekatnya.
"Cuk.. gengnya Angga ngajak tubir besok!" Kata Jojo pakai nada tidak nyelow. Lino berdecak mendengarnya.
"Mau mati apa?" Desis Lino seraya tersenyum remeh.
"Iya kali. Anggota cuma 3 orang aja songong amat" timpal Vernon.
"Jadi gimana?" Tanya Kim. Dia mau tau keputusan Lino. Sebagai ketua mereka.
"Kita terima. Bawa barang yang sekiranya perlu" kata Lino. Sudut bibirnya ia tarik.
-----