🖐🖐
Tepat pukul 4 lewat sembilan belas menit, bertepatan dengan berakhirnya azan subuh. Lahirlah dia putra dari Jingga dan Lino. Samudra Biru Zagalino.
Nama itu tercetus begitu saja oleh Jingga saat tau anak yang dikandungnya akan berjenis laki-laki. Saat itu usia kandungannya menginjak bulan ke tujuh.
Juno yang mendampingi proses bersalin Jingga, menitikan air matanya haru. Pria yang setengah rambutnya sudah beruban itu terharu dia dapat secepat itu menjadi seorang kakek.
Mama dan papa Lino juga ada di sana. Bergantian menggendong cucu mereka. Raut bahagia terpancar dari mereka semua yang ada di ruangan itu. Kecuali Lino yang selalu berekspresi datar.
Jingga yang masih terbaring di brankar meraih tangan Lino dan tersenyum ke arah suaminya itu.
"Kamu sudah jadi ayah" lirih Jingga dengan bibir pucatnya itu.
Lino tak menjawab apapun-- matanya lalu beralih ke bayi yang sedang digendong mamanya.
⛥⛥⛥
Malam itu, bayi yang bernama Biru itu entah jadi rewel. Sejak sore terus menangis. Jingga bahkan bingung dia dan ayahnya bergantian menenangkan Biru. Sampai suara pintu terbuka membuat atensi Jingga dan Juno teralih ke seseorang yang datang.
Lino dengan wajah kusutnya baru saja pulang. Pagi dia kuliah dan malam dia bekerja. Dua hal sekaligus itu harus dia lakukan-- tidak memandang senakal apapun dirinya. Pendidikan adalah hal penting untuknya. Dan mencari nafkah bukankah itu sudah menjadi kewajibannya?
Setelah tidak bersama gengnya sewaktu SMA, Lino memang hanya fokus pada dua hal tadi. Kuliah dan bekerja.
Dia berubah. Tapi tidak akan merubah sifatnya selama ini...
"Mas, baru pulang?" Sapa Jingga seperti biasa.
Namun, dengan wajah kusutnya Lino boro-boro menyahuti-- menoleh saja tidak. Juno yang juga melihat menantunya itu hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Lino" panggil Juno cukup keras.
Tap.
Lino menghentikan langkahnya sejenak di anak tangga. Lalu matanya mencari sosok ayah mertuanya itu..
"Anakmu sedang rewel, apa kau tidak ingin membantu istrimu menenangkannya?" Pertanyaan itu seperti sebuah sindiran untuk Lino sadar.
Tapi Lino ya Lino. Dia tanpa ingin menjawab-- cuek saja dengan melanjutkan langkahnya. Sepertinya dia akan ke kamar.
"Sudahlah yah.. dia memang seperti itu sifatnya." Lerai Jingga karena melihat ekspresi ayahnya itu jadi emosi.