pengakuan

1.3K 174 10
                                    

panjang umur kali aku, bisa up cerita:)





.
.
.
.
.
.
.

.
.

Novan menghela nafas lega ketika ia tidak harus duduk berdampingan dengan Esang. Ia tidak bisa membayangkan 1 jam 40 menitnya ia habiskan dengan duduk berdampingan dengan Esang.

Sedikit berbisik Novan mengarahkan kameranya ke arah Esang.

"Lihatlah jarak di antara kita," Novan melirik bayangan Esang yang sibuk menata barang lewat layar kameranya, "rasanya gue bisa mati canggung dengan keadaan ini,"

Setelah itu Novan mematikan kameranya, bersiap tidur dalam perjalanannya. Tidak tau saja Esang yang sedang menatap kearah bangku mikiknya sebelum mengambil ponselnya dan merekam sesuatu disana.

☆☆☆

Bandara Ngurah Rai, 5 November

Ada hal yang ingin Novan sampaikan pada Jame saat Novan bertemu dengannya nanti. Yang pertama terima kasih, atas mobil sewaan yang di pinjamkan padanya, jadi Novan tidak perlu repot-repot mencari atau memesan taksi. Dan kata orang yang tadi mengarahkan mereka berdua, lokasi resepsi agak jauh dari bandara dan bisa di bilang berada di daerah yang lumayan dalam. Jadi, Jame dengan baik hatinya memberikan mobil sewaan untuknya.

Dan hal kedua yang Novan ingin sampaikan adalah...

"Anjing, si Jame," kalimat yang ingin Novan katakan pada Jame sejak tiba di Bali, karena membuatnya harus menyetir mobil sendiri, dan terjebak dalam kecanggungan aneh yang tidak bisa Novan bayangkan.

Jika dengan sopir mungkin tak masalah setidaknya Novan atau Esang bisa duduk di samping sopir, tapi ini, Novan tidak mungkinkan menyuruh Esang duduk di belakang, dalam fikirannya ia seperti tidak mau saja duduk berdampingan dengan Esang.

"Eum, Van?" Novan menoleh, sedikit terkejut ketika Esang tiba-tiba berani membuka percakapan terlebih dahulu.

"Jangan formal bangetlah, kaku banget jadinya loh, risih guenya,"

Novan mengiyakan dan membuat obrolan itu terputus dengan Esang yang sibuk melihat pemandangan dan Novan yang berusaha mati-matian mencari topik pembicaraan di kepalanya. Sesekali ia melirik kamera yang ia pasang di depannya.

"Ah, ya, kata Jame lo orang Bali asli?" Esang menoleh melihat Novan yang bertanya, tapi lebih mirip berteriak.

Gila, Novan gugup.

"Ayah Jawa, ibu Bali, tapi dari kecil tinggal di Bali, awal ajaran SMA gue pindah ke Jakarta, nenek pengen tinggal bareng ayah lagi soalnya,"

"Oh, berarti sejak itu jarang balik ke Bali lagi?" tanya Novan sambil melihat kaca spion.

"Masih sering, kok," Esang tersenyum sebelum kembali melanjutkan perkataannya.

"Cuma, setelah balik dari Jepang, yang kita pertukaran pelajar itu, aku gak pernah balik lagi ke Bali, ini pertama kali setelah empat tahun gue gak pulang ke Indo dan ngunjungi Bali,"

"Kenapa?" Itu respon yang muncul di kepala Novan.

"Entah, mungkin karena Inggris lebih bersahabat buat orang seperti gue," Esang menoleh kearah Novan dengan pandangan yang tidak terbaca, cukup membuat Novan menelan ludah gugup.

PerasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang