menyadari

353 58 0
                                    

Rasa pusing seakan mendera kepala Esang ketika dia mencoba duduk. Esang juga merasa bahwa matanya terasa membesar dan berat untuk dibuka. Dirinya kebingungan ketika ruangan pastel khas milik Fitri berubah menjadi ruangan putih khas rumah sakit.

Dia sadar soal Sande yang membawanya, aroma parfum Sande tercium sangat kuat hingga mengganggu Esang tidur. Tapi, dia pikir ia dibawa pulang Sande ke rumahnya. Ini dimana?

Esang berdiri mendapati ia tertidur disofa yang bisa dijadikan ranjang. Dia mendapati kasur rumah sakit yang kosong. Tidak mau berfikiran buruk, Esang lebih dulu masuk kamar mandi, wajahnya sedang dalam kondisi yang tidak membuatnya nyaman.

Didalam kamar mandi, Esang mendapati alat cukur yang ia kenal sejak dulu. Alat cukur yang sama dengan milik ayahnya. Itu membuat Esang menghela nafas kasar.

Dirinya merasa beruntung karena di panti asuhan ia hanya membawa ponsel. Jadi dia tidak kelabakan takut tertinggal sesuatu. Ia harus segera keluar dari ruangan ini.

Baru saja keluar Esang mendapati seorang perawat yang terlihat mengganti papan nama pasien. Dan sekarang makin jelas bahwa pasien diruangan ini adalah ibunya.

"Oh, apa anda keluarga pasien?" Esang mengangguk ragu. "Maaf, kalo saya lancang, saya pikir cuma ada Pak Dodi, dari dulu cuma satu orang yang sering menunggu disini soalnya," si suster menunduk minta maaf. Ia sibuk membereskan infus yang dibiarkan menggantung.

"Satu orang? Lalu suaminya?"

Suster melirik Esang sekilas. Lalu berdehem.

"Saya tidak tau, sejak beberapa bulan lalu hanya pak Dodi sebagai satu-satunya wali, dan satu lelaki yang biasanya mengantarkan makanan, mungkin adiknya, dan seorang lagi yang keliatannya kenalan pak Dodi, saya sampai hafal karena cuma pasien ini yang jarang," Suster mulai membersihkan kasur yang digunakan pasien.

"Heran juga si, dulunya ibuk ini sering check up sama suaminya, tapi sekarang malah tidak sama sekali. Padahal keadaan ibu sudah makin memburuk, dan heran si ibuk masih saja menolak diberikan vaksinasi, kasihan juga ya, padahal ibunya pak Dodi keliatan baik banget, ramah juga, haduh, pusing saya kalo dipikirin lagi," sambil menggumam kecil si Suster mengganti sarung bantal. Dan ketika berbalik dia terkejut mendapati Esang yang masih berdiri disana sambil berkaca-kaca.

"Lho, adek kenapa? Eh kok nangis?"

Esang hanya senyum simpul. Dia mengelus pipinya yang terasa basah.

"Sekarang pasien ada dimana, sus?"

"Oh, si ibuk ada di ICU. Tadi sore ibuk positif kena komplikasi abses paru-paru,"

"Kalau begitu makasih, sus," Esang buru-buru meninggalkan suster itu sendiri. Meninggalkan suster itu sendiri dan mulai membereskan sarung bantal dan sprei tempat tidur.

☆☆☆

Jantung Esang berdetak kencang. Dia mengerang ketika merasa kepalanya terasa sakit. Beberapa kali ia berhenti untuk mengambil nafas.

Sampai akhirnya dia terjatuh karena menabrak seseorang. Dia mengaduh karena rasa sakit dikepalanya semakin menjadi. Ketika dia mendongak hanya bayangan lelaki yang berusaha meraihnya.

"Esang? Hei, kamu gak papa?"

Esang mengenali suara itu, hanya saja pening dikepalanya membuat semuaya terasa gelap. Dan secara perlahan dunianya semakin kabur, tapi dia berusaha untuk tetap sadar. Dengan begitu wajah manis Raiden terlihat jelas dikedua matanya.

"Mama, Rei, dia," Esang berucap dengan terbata, sedangkan Raiden berusaha sekuatnya, membawa Esang untuk duduk di kursi rumah sakit.

"Calm down, Sang, breath in and out, calm your mind, and look at me," Raiden sebenarnya panik melihat sahabatnya yang terlihat kacau sekarang. Dia menggenggam erat kedua tangan yang mendingin ditambah dingin AC.

PerasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang