= 09 = Lion's Cage

652 50 0
                                    

Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗

.

.

.

Happy reading all ^_^

.

.

.

.

CAROLINE memandang lekat – lekat Allendis yang ada di atas pangkuannya. Balita mungil itu menundukkan kepalanya sambil memainkan jari – jari tangannya. Lalu pandnagannya beralih pada Marcello yang saat ini duduk di hadapannya dengan wajah cengengesannya. Sial, dia tidak memikirkan jika bisa dikerjai oleh seorang balita yang belum genap 2 tahun ini.

"Mommy pulang ya."

"Jangan!" pekik Allendis sambil memeluk erat leher Caroline.

Caroline mengelus lembut punggung Allendis sambil menghela napas panjang. Seharusnya dia tegas dari awal agar Allendis tidak terlalu dekat padanya.

"Mommy tidur sama Allen. Ya, ya, ya?"

"Baiklah. Bagaimana kalau Mommy bacakan dongeng sebelum tidur hmmm?"

"Mauuu."

Dengan semangat Allendis turun dari pangkuan Caroline lalu menarik tangan Caroline menuju kamar tidurnya. Caroline terkekeh geli dan ia hanya pasrah saat tangan mungil itu menariknya. Caroline berdecak kagum saat melihat desain kamar Allendis. Benar – benar kamar yang diimpikan oleh semua anak laki – laki. Bed cover dengan gambar animasi Toy Story. Dinding yang dipasang dengan tokoh – tokoh Toy Story dengan background biru langit. Lalu langit – langit yang diwarnai dengan navy dan ada banya titik putih seperti melihat langit malam yang penuh bintang. Dari sini Caroline sangat yakin jika Marcello sangat menyayangi anaknya.

Allendis melompat ke atas kasurnya lalu dengan gesit balita itu sudah dalam posisi tidur dengan selimut tebalnya. Caroline terkekeh geli lalu mengambil asal buku dongeng yang sepertinya memang disediakan untuk Allendis di samping kanan ranjang itu. Caroline melirik sekilas judul dongeng itu lalu gadis itu pun siap untuk mendongeng.

Caroline mulai menceritakan pengantar dongeng 'The Frog and The Princess' lalu menunjukkan gambar buku dongeng itu pada Allendis. Setidaknya gadis itu sudah tau dongeng itu jadi dia bisa leluasa untuk memperlihatkan adegan animasi yang ada dalam buku dongeng sedangkan dia bisa mendongeng tanpa melihat buku walau sesekali melirik sekilas animasi yang ada dalam buku tersebut.

Marcello tersenyum saat di ambang pintu kamar Allendis memerhatikan bagaimana interaksi Caroline dan Allendis. Pemandang di hadapannya adalah impiannya sejak dulu. Dia dan Caroline bersama dengan anak – anak mereka. Marcello terkekeh geli saat melihat wajah Allendis yang mendengarkan Caroline saat gadis itu menjabarkan betapa jeleknya rupa kodol dalam dongeng itu.

Tidak ingin mengganggu, Marcello pun menutup pintu kamar Allendis sebagian lalu ia pergi meninggalkan Caroline dan Allendis.


Caroline's POV

Aku menghela napas panjang saat memerhatikan wajah Allendis yang sudah damai karena terlelap. Dengan hati – hati kuletakkan buku dongeng itu kembali di tempatnya. Tak lupa juga aku membenarkan letak selimut Allendis lalu mengecup lembut kening Allendis dan berjalan sepelan mungkin untuk meninggalkan kamar Allendis.

Setelah menutup pintu kamar Allendis aku turun ke lantai bawah sambil meregangkan badanku. Astaga, entah kenapa hari ini aku sangat lelah. Aku merasakan getaran di saku celanaku. Kuambil benda pipih itu. Aku mengernyit saat melihat nama yang tertera di layar benda pipih itu. Oh ya, aku lupa mengabarinya.

"Car-"

Aku langsung mengangkat telunjuk jari dan kuletakkan di depan bibirku saat aku mendengar Kak Cello memanggilku bersamaan saat aku mengangkat panggilan dari Chad.

"Beib?!"

Aku langsung menjauhkan benda pipih itu saat mendengar teriakan lebih tepatnya rengekan Chad. Aku melirik sekilas Marcello karena rengekan Chad cukup keras di ponselku.

"Calm down, okay. Bentar lagi aku pulang."

"Semalam ini?"

"Jam 9 belum malam, Chad."

"Aku jemput."

"Lalu mobilku bagaimana? Jangan gila."

"Aku bisa naik taksi. Kirim alamatnya."

TUT. TUT.

Aku menatap kesal layar ponselku yang sudah menjadi hitam. Sialan. Selalu saja seenaknya sendiri. Aku pun memasukkan ponselku ke saku celanaku lalu pandanganku beralih pada Kak Cello yang sudah dari tadi berdiri di hadapanku.

"Ada apa memanggilku?" tanyaku.

Aku menatap bingung Marcello yang masih diam tidak bergeming dan laki – laki itu hanya menatap lekat diriku. Okay, sekarang aku mulai risih.

"Kak Cello, hellooow?" panggilku sambil melambaikan tanganku di depan wajahnya.

Aku tersentak kaget saat tangan kekar itu menangkap lambaian tanganku lalu dengan kuatnya dia menarikku ke dalam pelukannya. What the hell?!

Aku berusaha berontak untuk melepaskan pelukan itu tapi tentu saja aku kalah kekuatan. Aku terdiam saat tangan Kak Cello menjelajahi saku celanaku. Aku mendongak dan terbelalak saat benda pipihku sudah berada di tangannya dan hell no, bagaimana bisa Kak Cello tau pola password ponselku?

"Halo, beib?"

Aku mendelik saat mendengar suara Chad. Kak Cello me-loudspeaker panggilan itu.

"Beib? Bentar lagi aku berangkat ini sudah di depan lobby apartemen. Tu-"

"Lavey tidak akan pulang karena sudah malam dia akan menginap di sini. Jadi Anda tidak perlu bersusah payah untuk menjemputnya."

Aku hanya pasrah saat mendengar perkataan Kak Cello dengan nada sinis dan tajamnya. Siaaaalan. Sepertinya saran Chad tadi ada benarnya. Penyesalan selalu datang di akhir. Dengan santainya Kak Cello menaruh benda pipih itu ke dalam saku celanaku dan sekarang dia menatapku dengan pandangan intens.

Aku menelan salivaku dengan susah payah dan menyumpah serpahi diriku sendiri karena ternyata perasaanku masih tersisa dan mulai membuncah lagi hanya karena tatapan intens itu.

"Sekarang kita selesaikan masalah kita." Ujar Kak Cello datar.

Sialaaaan, tanpa kusadari sepertinya aku masuk ke dalam kandang Singa. Kak Leooooo, help me!




TBC

.

.

.

See yaa Next Saturday and Happy Weekend ^_^

MaCarolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang