= 11 = Brother Zone

612 45 0
                                    

Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗

Sorry for late update and for today Vey bakal double up. Dan karena Sabtu besok nggak bisa upload jadi sekalian Vey upload sekarang. Vey weekend besok mau bertapa hehehe.

.

.

.

Happy reading all ^_^

CAROLINE bernapas lega saat mobilnya sudah berkendara cukup jauh dari mansion terkutuk itu. Saat dia membaca ada kesempatan untuk kabur akhirnya gadis itu berhasil kabur. Masa bodoh dengan ketidak sopanannya yang kabur tanpa pamit dari Pemilik Rumah. She doesn't care.

Caroline melirik ponselnya yang bergetar lama lalu segera mengangkat telpon itu dan me-loudspeakernya.

"Beib?! Apa – apa an tadi?"

"Bukan apa – apa. Ini aku udah perjalanan pulang."

"Benarkah?"

"Iya, Chad."

"Ya sudah. Cepat pulang aku sudah ada di lobby apartemenmu."

"You wh-"

TUT. TUT.

Caroline menggeram kesal sambil menatap tajam ponselnya. Richard sialan, batin Caroline kesal. Dengan hati yang dongkol akhirnya Caroline sampai di apartemennya. Ia pun memarkir mobilnya di tempat parkir khusus penghuni.

Setelah terparkir sempurna, Caroline mengambil barang – barangnya, keluar dari mobil dan mengunci mobil lalu berjalan menuju lobby apartemennya. Ia menatap kesal sosok yang saat ini melambai padanya. Tanpa menggubris sosok itu, Caroline berjalan melewatinya dan langsung menuju resepsionis.

"Hai, Kate. My key, please."

"Oh, Halo, Carol. Kamu sudah lama tidak pulang ke sini."

"Well, karena pekerjaanku aku jadi sering menginap di luar."

"Bagaimana? Sudah sampai tahap mana garapan kalian?"

"Hmmm, dua minggu lagi sudah masuk adegan terakhir."

"Really? Hah, aku nggak sabar buat perilisan filmnya. Oh, tunggu sebentar."

Katherine biasa dipanggil Kate, resepsionis yang bekerja di apartemen Caroline itu menghilang entah kemana. Sambil menunggu Katherine, Caroline membaca beberapa pengumuman yang sudah ia lewatkan.

"Beib, jangan begitu dong."

Caroline mendengus kesal saat mendengar suara yang sangat tidak dia harapkan saat ini.

"Lo sebaiknya pulang deh, Chad. Kepala gue tambah pusing sejak kedatangan lo di sini."

"No no no, kenapa balik lagi lo – gue. Aku – kamu, Lav."

"Nggak."

"Beib?!"

Caroline terkesiap saat Richard membentaknya. Gadis itu menggeram kesal, okay, kesabarannya sudah habis.

"Sebenarnya maksud lo itu apa sih? Gue udah bilang kan, gue nggak mau. Tapi lo maksa banget. Gue selama ini bersikap baik dan menahan semua emosi gue ke elo itu karena lo sahabat dari Kak Leo. Dan lo orang yang dikasih hati malah minta jantung. Lebih baik lo balik aja asal lo. Gue udah pusing dengan masalah gue sama Marcello sialan itu. Jangan sampai lo nambah masalah juga ke gue."

Akhirnya, Caroline mengungkapkan bebannya selama ini. Masa bodo dengan aturan kesopanan terhadap yang tua.

"Aku benar – benar serius denganmu, Lav. Selama sama aku, masa kamu tidak melihat keseriusanku?"

"Gue tau kalo lo serius. Tapi karena lo sudah gue anggap sebagai kakak gue sendiri, jadi gue nggak bisa menerima keseriusan lo ini."

"Jadi kita nggak bisa lebih dari ini?"

"No. Never."

"Kenapa kamu nggak ngasih aku kesempatan hmmm?"

"Tidak ada kesempatan untuk lo. Karena lo sudah gue cap sebagai kakak gue dan gue nggak bisa membayangkan menikah dengan orang yang udah gue anggap sebagai kakak gue sendiri. You know, rasanya kayak menikah sama saudara kita sendiri walau sebenarnya kita bukan saudara sedarah."

Richard menghela napas panjang. Sepertinya usahanya selama ini sia – sia. Dia tetaplah seorang Kakak bagi Caroline, tidak lebih dari itu.

"Baiklah. Kalo gitu, have a nice dream, beib."

Caroline hanya memandang Richard yang pergi menjauh. Dia bisa melihat betapa sedihnya laki – laki itu dari punggung laki – laki itu. Mau bagaimana lagi, Caroline hanya menganggapnya sebagai Kakak, tidak lebih dari itu.

"Carol, ini."

Pandangan Caroline beralih kembali ke meja resepsionis. Ia memandang bingung Katherine yang memberikannya sebuah tempat CD film padanya.

"Tolong dong mintakan tanda tangan Sutradara Damien."

Ah, ternyata soal itu. Caroline terkekeh geli, dia lupa jika Katherine adalah fans beratnya Damien.

"Baiklah, tapi mungkin aku sedikit lama mendapatkannya."

"Tidak apa – apa. Yang penting aku mendapatkan tanda tangannya."

"Baiklah, aku ke atas dulu ya."

"Yuhuuu."

Caroline bernapas lega saat ia menyelesaikan satu permasalahannya. Sepertinya Richard akan pulang secepatnya karena dia sudah menolak laki – laki itu. Sekarang tinggal permasalahannya dengan Marcello. Caroline menggeram kesal karena menyadari jika hari - hari–tenangnya yang seperti biasa menjadi kacau. Dia jadi ingin menerima tawaran Galileo dulu. Tawaran yang sangat menggiurkan.




TBC...

MaCarolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang