Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca
Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗
.
.
.
Happy reading all ^_^
.
.
.
.
MARCELLO harus menahan emosinya saat melihat berita pencarian atas. Laki – laki itu menyandarkan punggungnya di sofa ruang keluarganya sambil memejamkan kedua matanya. Sepertinya perlahan – lahan Tuhan membalas perbuatan bejatnya. Suara langkah kaki kecil menggema di ruang keluarga itu dan Marcello membuka kedua matanya. Laki – laki itu tersenyum saat melihat sosok mungil itu berlari kecil menuju ke arahnya.
Dengan susah payah tubuh mungil itu memanjat sofa yang diduduki Marcello dan akhirnya dia bisa duduk dan memandang Marcello dengan tawa polosnya.
"Dad, Allen kangen Mommy."
Marcello terkekeh geli saat aksi bujuknya yang membuat sosok mungil itu mau tidak mau berusaha untuk belajar berbicara lancar. Setidaknya Marcello bisa mengalihkan pikiran sosok mungil itu, Allendis dari Caroline. Sudah dua bulan berlalu sejak pertemuan Allendis dengan Caroline dan sepertinya Marcello kehabisan akal untuk mengalihkan pikiran Allendis dari Caroline.
"She's so busy, little boy." Ujar Marcello sambil mengecup kening Allendis lalu mengusap lembut kepala Allendis dan membawanya ke atas pangkuan.
"Tapi aku tadi lihat Mommy sama om genit itu."
Marcello dibuat tertawa oleh Allendis saat menamakan Richard dengan sebutan Om Genit. Well, walau terlihat polos, Allendis sangat susah berbaur dengan orang asing. Sekalinya baduta itu tidak menyukai seseorang, bisa – bisa panggilan aneh akan muncul dari mulut mungil itu.
"Jadi, Dad harus bagaimana, hmmm? Mommymu selau menolak panggilan Daddy."
"Ishhh, gitu aja nggak bisa merayu Mommy. Sia – sia dong Daddy punya wajah tampan kalo nggak bisa merayu Mommy."
Marcello terkekeh geli mendengar ejekan dari putra semata wayangnya. Pria itu menunduk dan mendusel – duselkan hidungnya ke pipi tembam milik Allendis.
"Dwad, Alwen adwa idwe bagwus."
Marcello menghentikan aktivitas mendusel – duselnya lalu memandang lekat Allendis.
"Apa itu, little boy?"
Caroline's POV
Suara ketikan keyboard laptop tidak henti – hentinya menemaniku untuk menyelesaikan naskah ending part. Aku menghela napas lega saat tanda titik telah kububuhkan di kalimat akhir. Finally, fyuuh.
Aku langsung menyandarkan punggungku yang sedari tadi dalam posisi tegak maupun bungkuk ke depan. Tak lupa aku memejamkan mataku untuk mengistirahatkannya. Ponselku bergetar cukup lama membuatku mau tidak mau menengoknya tanpa melihat nama penelpon yang tertera.
"Halo?"
"Mooom!"
Aku menjauhkan ponselku saat suara melengking itu terdengar. Kuusap telinga kananku yang menjadi korbannya. Lalu kulirik nama penelpon. Marcello? Tapi kenapa suaranya kayak bocah?
"Mommy!" pekik suara di seberang.
Aku menghela napas panjang saat mendengar suara Allen. Well, ternyata aku merindukan suaranya Allen tanpa kuduga.
"Ada apa hmm?"
"Daddy, Mom. Hiks."
Aku mengernyit saat isak tangis Allen terdengar. Sepertinya ada yang tidak beres.
"Tenang, dear. Bisa jelaskan ke Mommy apa yang terjadi."
"Daddy jatuh terus tidak bangun – bangun, Mom."
"Bagaimana dengan Oma?"
"Oma tidak ada. Oma pergi keluar dengan Opa."
Aku menghela napas panjang. Chad yang sudah menuntaskan panggilan alamnya pun muncul di hadapanku dengan raut wajah penuh tanya.
"Sekarang kamu ada di mana?"
"Di rumah, Mom."
"Oke, Mommy akan segera ke sana. Tunggu sebentar ya."
Aku pun mematikan ponselku sekalian meringkas perkakas dan pakaianku. Well, sepertinya aku tidak jadi menginap di apartemen Richard dan aku bisa kembali ke habitatku.
"Ada apa?"
"Wait."
Aku segera mengirim pesan ke Tante Maddy untuk meminta alamat rumah Marcello dan segera mengambil kunci mobilku di atas meja.
"Tunggu, beib. Where are you going? It's so late to go out."
"Aku harus ke rumahnya Marcello. Allendis sedang sendirian karena Daddynya sepertinya pingsan saat terjatuh."
"Dimana kedua orangtua Marcello?"
"Pergi keluar. Entah kemana, Allen tidak menceritakannya lebih detail."
"Biar kuantar."
"No need. Lagipula setelah dari sana aku langsung pulang."
"Bagaimana dengan paparazi – paparazi itu?"
"Aku sudah mengganti baju dan memakai hoodie untuk menyembunyikan rupaku. I'm safe."
"Hah, kamu selalu keras kepala. Baiklah. Hubungi aku jika sudah sampai atau kalo tidak bisa kirim pesan padaku."
"As always."
Author's POV
Caroline melihat - lihat dekorasi outdoor rumah itu ralat mansion mewah itu sambil menunggu seseorang membukakan pintu itu.
"Mommy!"
Caroline tersentak ke belakang saat sosok mungil yang membukakan pintu dengan tergesa – gesa menubruknya. Caroline tersenyum sambil membawa sosok mungil itu ke dalam gendongannya lalu menutup pintu mansion itu.
Sepasang mata jelinya mencari – cari ART yang ada di dalam mansion itu. Nihil. Tidak ada siapa pun.
"Dimana Daddymu?"
"Lantai dua, Mom."
Caroline pun menaiki anak tangga sambil menggendong Allendis. Sepertinya Allendis habis menangis karena wajahnya sangat sembab. Caroline pun membuka pintu berwarna hitam pekat yang ia yakini kamar Marcello.
Mulut Caroline menganga lebar saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Lalu gadis itu menatap Allendis dengan senyum malu – malunya. Gadis itu menghela napas berat dengan nasibnya.
TBC
.
.
.
Happy weekend all and see ya next Saturday ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
MaCarol
ChickLitTHIS IS MY ORIGINAL STORY. DON'T COPY MY STORY IF YOU WANT TO GO TO THE HELL #2nd SERIES OF DUDA'S WORLD This story I make since January 2020 CAROLINE LAVENDER PIOVE Seorang main script writer sekaligus novelist terkenal yang belum diketahui oleh k...