= 14 = Bad Saturday

556 39 0
                                    

Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗

.

.

.

Happy reading all ^_^

.

.

.

.

CAROLINE membeku saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Seorang wanita paruh baya memandangnya – lebih tepatnya seperti memandang seseorang di belakangnya – dengan tatapan tajam. Oh jangan lupakan dengan seorang balita yang digendong wanita paruh baya itu dengan tangisannya yang terbilang kencang.

"Sudah Mama duga kamu ada di sini."

Wanita paruh baya itu menyerahkan anak balita itu pada Marcello bukannya Caroline, padahal gadis itu posisinya lebih dekat dengan wanita paruh baya itu, Maddy.

"Tante, halo." Ujar Caroline canggung.

Maddy tersenyum manis. Wanita paruh baya itu sudah menduga bila anak semata wayangnya dan gadis yang ada di hadapannya ini akan bersama. Karena itu, Maddy tidak memaksa Caroline di saat pertemuan awal mereka. Maddy sudah bisa menduganya.

"Just call me Mama, dear. Kurasa panggilan Tante tidak berlaku sekarang karena aku melihat kalian bersama."

Caroline tersenyum kikuk dan wajahnya memerah. Ia berusaha menahan malu. Hah, bagaimana bisa ia menjilat air ludahnya sendiri.

"Ma, sudahlah jangan menggoda, Lavey. Mama nggak lihat apa wajahnya memerah seperti tomat rebus." Ujar Marcello sambil terkekeh geli lalu laki – laki itu kembali beralih pada Allendis yang masih saja menangis.

Melihat itu, Caroline segera menghampiri Marcello dan membawa Allendis ke dalam gendongannya. Allendis langsung memeluk erat Caroline. Marcello dan Maddy dikejutkan dengan Allendis yang langsung diam dan patuh saat Caroline menimangnya.

"Hah, kadang kala aku berpikir, dia sebenarnya anakku atau anak kamu sih?" keluh Marcello.

"Anak kita." Ujar Caroline.

Maddy tersenyum bahagia saat melihat cucu kesayangan, anak semata wayangnya, dan calon menantunya tersenyum bahagia. Memang feeling seorang wanita selalu benar.

"Kalau gitu, Mama pergi duluan." Ujar Maddy.

"Kok sudah pergi dulu, Ma? Allendis di bawa sekalian."

"Hah, memangnya yang ingin berkencan cuma kalian saja para anak muda."

"Mama, please. Aku baru aja jadian sama Lavey masa harus diganggu sama Alle-"

"Nggak ada bantahan. Itu hukuman kamu karena meninggalkan Allendis sendirian. So, see yaa."

BLAM.

Maddy langsung pergi dan menutup pintu apartemen Caroline tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Marcello menatap Allendis dengan kesal dan yang ditatap malah bermanja ria dengan Caroline. Really? Gue harus kalah sama anak gue sendiri, pikir Marcello.

"Kita bisa menitipkan Allendis."

"That's a bad idea."

"Hah, kenapa tiap kali aku baru bisa berduaan denganmu ada saja gangguan?"

"Mungkin karma."

"Jadi sekarang kita mau ngapain?"

Caroline terdiam dan sedang berpikir. Keningnya semakin berkerut karena ia merasa seperti ada yang terlupakan.

"Hari apa ini?"

"Saturday."

"Oh My God!"

"Apa?"

"Kak Leo, aku lupa hari ini harus jemput Kak Leo."

Caroline segera menyerahkan Allendis kepada Marcello dan gadis itu segera melesat ke dalam kamar untuk ganti baju. Bersamaan dengan hilangnya Caroline, Allendis menangis kembali di dalam gendongan Marcello.

Marcello menghela napas panjang sambil menimang Allendis agar tangisan anak semata wayangnya mereda.

"Gosh, today is Bad Saturday."




TBC

.

.

.

See yaa

MaCarolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang