Selamat membaca,,,
Vira mengeluarkan semua rasa sakitnya lewat air mata, rasanya sakit saat orang yang ia sayangi membentaknya di depan umum. Vira tidak mengerti dengan Ken, mengapa laki-laki itu tega membentaknya, padahal sebelumnya Ken tidak pernah membentaknya.
Vira terduduk lemas di lantai rooftop yang sepi, rasanya sakit dan membekas di hatinya. Ia ingin berbagi rasa sakitnya, tetapi dengan siapa? Ia hanya seorang diri di sini.
"Vira!"
Vira mengangkat wajahnya yang berantakan, ia menatap Aziz yang berdiri di depannya sambil menjulurkan sapu tangan di depannya.
"Usap dulu air matanya," kata Aziz.
Tidak ada pergerakan dari Vira untuk mengambil sapu tangan tersebut, ia membuang muka ke arah lain. Tidak ingin Aziz melihat keadaannya yang sangat kacau dan lemah seperti ini.
Aziz duduk di samping Vira. Namun, gadis itu enggan untuk menatapnya dan tetap membuang muka ke arah lain.
"Ngapain lo di sini?" ketus Vira.
"Orang yang sedih mungkin butuh waktu sendiri, tetapi jangan sendirian di tempat sepi, bisa bahaya. Kamu ngga takut?"
"Urusannya sama lo apa?"
"Kamu lupa? Aku 'kan ketua kelas kamu, jadi aku berhak ngawasin kamu."
"Tapi lo ngga berhak ikut campur urusan gue!" seru Vira. Meskipun begitu, Vira merasa Aziz akar dari semua masalahnya dengan Ken, semuanya karena kehadiran Aziz.
"Yaudah, anggap aja aku teman kamu, sahabat kamu. Jadi kamu bisa berbagi cerita sama aku, Ra. Jangan dipendam sendirian," tutur Aziz, suaranya lembut.
Mendengar penuturan Aziz yang begitu lembut dan pengertian membuat Vira kembali menangis. Mengapa Aziz yang menghampirinya? Mengapa harus Aziz yang menyusulnya hingga sejauh ini? Harusnya ketiga sahabatnyalah yang ada di posisi Aziz, menemaninya dan menawarkan dirinya sebagai tempat berbagi cerita untuk Vira. Dan di mana Ken? Apakah dia sudah tidak peduli padanya lagi?
Mengingat kenyataan jika sahabat dan kekasihnya sudah tidak memperdulikannya, Vira menangis sampai isak tangisnya terdengar memilukan.
Aziz tidak tega melihat Vira yang menangis hanya karena Ken. Mungkin itu semua karena Vira sangat menyayangi, bahkan mencintai lelaki itu. Aziz menepuk pundak Vira beberapa kali, agar gadis itu segera menghentikan tangisannya.
Aziz sendiri bingung, apa yang harus dia lakukan, dia tidak ingin Vira sedih sampai seperti ini.
♧♧♧
Vira masih mengeluarkan air matanya dan Aziz masih setia di sampingnya. Menunggu gadis itu merasa lebih baik setelah meluapkan emosinya lewat tangisan.
"Udah, Ra. Kamu ngga capek?"
Vira menoleh menatap Aziz, rasanya memang lelah, tetapi ia lega karena sudah mengeluarkan segala keluh kesahnya yang belum bis dia katakan.
Aziz kemudian mengusap air mata Vira dengan sapu tangan yang dibawanya. Vira tidak bisa menghindar dari perlakuan Aziz, tubuhnya seperti kaku dan menerimanya.
"Udah jangan nangis lagi, ngga pantes dilihatnya," peringat Aziz disertai senyuman.
"Terus, pantasnya gimana?"
"Pantasnya kamu itu tersenyum. Senyum itu ibadah," papar Ajis, dia kembali menunjukan senyum terbaiknya, "nih, kayak gini."
Vira malah membalas tersenyum sinis. "Lo aja sono! Senyum mulu, ngga pegel apa tuh mulut ketarik terus," tolaknya.
Aziz tertawa garing. "Ngga, Ra. Kamu percaya ngga, kalau senyum itu bisa nular ke orang lain."
"Senyum menular ke orang lain? Gila dong," tukas Vira sambil meringis membayangkannya.
Aziz kembali tertawa, bagaimana bisa ada orang yang sulit menunjukkan senyumannya seperti Vira? Padahal Aziz ingat, gadis ini memiliki senyuman yang indah dan membuatnya bertambah cantik. "Bukan gitu, Ra. Kamu mau tau?"
"Males sih, tapi ya udah. Coba kayak gimana?"
"Nih ...." Aziz tersenyum di depan Vira, senyuman yang benar-benar tulus, hingga membuat Vira ingin membalas senyuman itu.
Bukannya tersenyum, Vira justru tertawa melihat usaha Aziz. Ia tertawa karena Aziz membuat gaya seperti seorang gadis yang tengah berpose imut.
Laki-laki itu bertopang dagu, tersenyum sampai bibirnya hanya membentuk sebuah garis tipis, kedua matanya berkedip manja. Hal itu membuat Vira tidak bisa menahan gelak tawanya. "Eww, itu apaan?! Sok imut banget, anjir!" ungkap Vira di sela tawanya.
Aziz sendiri tertawa dengan aksi konyolnya, tetapi tidak apa asalkan Vira tertawa, bukan menangis seperti sebelumnya. "Kamu cocoknya ketawa," akunya sambil tersenyum menatap Vira, seketika senyumnya pudar karena menyadari sesuatu. "Tunggu dulu, sekarang udah jam berapa?"
"Jam dua belas lebih sepuluh menit. Sekarang istirahat kedua," jawab Vira sambil menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
"Astagfirullah! Berarti kita di sini udah dua jam?"
Vira mengangguk. "Lo bolos pelajaran."
"Ini gara-gara kamu, Ra. Nangisnya lama banget."
"Lah, kok nyalahin gue sih?! Lo sendiri kenapa ngikutin gue?" balas Vira tidak diterima karena disalahkan. "lagian baru juga sekali bolosnya." Vira berkata acuh tak acuh seolah bolos pelajaran adalah hal yang bias sia lakukan.
Tetapi tidak bagi Aziz, selama masanya mencari ilmu, dia tidak pernah sekalipun tertinggal pelajaran apalagi meninggalkan pelajaran, ini pertama kali dalam seumur hidupnya. "Vira, bolos itu perbuatan yang ngga baik. Sayang ilmunya terbuang," peringatnya.
"Terus, gue harus gimana? Ngejar guru, nanya materi yang tadi diajarin gitu?"
"Nah, aku setuju sama ide kamu! Sekarang kita turun, ke ruang guru, terus minta maaf sama Bu Rita, karena kita ngga ngikut pelajarannya."
"WTF! Ngga! Gue ngga mau! Gue ngga ngomong kalau itu ide gue, dan satu lagi, gue ngga mau ketemu Bu Rita, orangnya serem, kata-katanya pedes lagi. Ogah, gue!" balas Vira dengan wajah malas.
"Kamu mau, ilmu yang Bu Rita kasih ke kamu jadi ngga bermanfaat? Nanti kamu kena karma, mau?" jelas Aziz.
Hadeh nih cowok, susah banget diajak belok dikit, lempeng mulu hidupnya. batin Vira menggerutu karena keteladanan Aziz. Vira tidak bisa membayangkan bagaimana Aziz di sekolah sebelumnya.
"Ya udah, iya! Gue ikut, tapi lo yang ngomong sama Bu Rita."
"Beres, oh iya ... sekalian kita sholat berjamaah di masjid dulu, yuk?" tambah Aziz.
Vira membelalak mendengar kata 'salat' sudah lama dia tidak bersujud di atas sajadah, ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia sholat, yang jelas itu sangat lampau. Vira bahkan tidak yakin apakah dia masih ingat bacaan sholat. Ternyata Vira sudah sejauh itu dengan Sang Pencipta.
Aku bohong aja kali ya, bilang aja lagi halangan. batin Vira merencanakan alasan yang masuk akal. "Oh iya, Ziz. Gue lagi halangan, lo salat aja, gue tungguin."
Aziz mengernyitkan dahinya. "Halangan?" ualngnya.
"Maksud gue lagi datang bulan, ngerti?"
Aziz mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Ayo, kita turun."
Vira menurut, ia berjalan di belakang Aziz. Begitu melewati koridor, banyak yang memperhatikan Vira, tetapi Vira tidak mempedulikan tatapan para siswa-siswi tersebut. Terserah mereka menatapnya dengan artian apa, Vira tidak peduli mulai sekarang.
VOTE AND COMMENT!!!🤗
Yasshh, holla gaisseu,
Kita bertemu lagi buat pembaca baru dan yang sudah pernah membaca cerita ini😍Jangan lupa tinggalkan jejak♥️ c u
:3
KAMU SEDANG MEMBACA
AZIRA
Teen Fiction(SUDAH END) [CERITA HANYA ADA DI WATTPAD, BUKAN DI PLATFORM LAIN] #1 in Goodboy #1 in Imam #1 Selalusabar #13 Highschool #6 fakefriends #1 setia Ketika GOOD BOY dijodohkan dengan BAD GIRL Ketika takdir kembali mempermainkan nasib kedua insan yang me...