18. Fight

1.9K 161 25
                                    

Kim Jisoo POV

"Jungkook... ahhhh, sudah," ucapku ditengah desahan yang terpaksa lolos. Tanganku mendorong dadanya hingga ciumannya terlepas dari bibirku. Matanya sendu, memancarkan hasrat yang begitu dalam. Tapi ada sorot kesedihan yang susah untuk dijelaskan. Ciumannya bukan lagi tentang gairah yang menggebu, tapi juga tentang perasaan yang begitu tersakiti. Lalu kukalungkan lenganku pada lehernya, memeluk Jungkook begitu erat hingga kepalanya mengusak leherku dengan gelisah. Lengan kekarnya menangkup tubuhku dengan sempurna. Aku bisa merasakan nafasnya menyesap di curuk leherku.

"Aku merindukanmu, noona. Sangat rindu," ucap Jungkook sambil terus mengeratkan pelukannya. Harusnya aku tenggelam lagi dalam pesonanya yang luar biasa. Tapi sungguh, otakku berjalan begitu keras sekarang untuk mencerna keadaan ini. Yang jelas bagian kecil dari pikiranku mengatakan bahwa aku tidak boleh bersama Jungkook lagi. Bersamanya memiliki tantangan yang lebih besar dibanding bersama Seokjin atau Taehyung.

Selama ini aku selalu menganggap diriku tidak pantas bersama dengan Seokjin maupun Taehyung karena perbedaan kasta yang terlalu besar. Tapi kenapa aku malah menenggelamkan diri pada Jungkook? Kasta kami bahkan lebih besar daripada kim bersaudara. Dia adalah anak tunggal calon presiden. Berjuang atas nama cinta? Aku sendiri tidak yakin apakah yang dimiliki aku dan Jungkook adalah cinta. Nyatanya aku masih getol memikirkan Seokjin.

"Tapi noona tidak merindukanku....," kalimatnya terdengar begitu putus asa.

"Rindu, kook. Noona juga rindu," kataku tanpa menunggu jeda. Aku tidak berpikir apakah aku memang rindu padanya, yang jelas kalimatku itu pasti yang diinginkan Jungkook sekarang juga. 

Lalu bibir merahnya kembali meraup bibirku. Ada getar yang bisa kurasakan di bibirnya ketika benda itu bergerak apik menguasai milikku. Mungkin ini akan menjadi terakhirku dengan Jungkook. Aku tidak berniat untuk berlanjut sebelum semuanya terlalu sakit. Aku tahu diri dan akan kembali ke tempatku berada sebelumnya. Bukan juga melupakan, karena sungguh pria ini sulit dilupakan. Hanya akan menyimpan semuanya tentang Jungkook sebagai kenangan yang indah. Ketika dia berada di depan layar kaca dan fotonya tercetak di berbagai majalah sebagai putra calon presiden, aku tidak mau wajah tampannya menjadi traumaku.

"Jungkook.... Hhhh, apa yang kau lakukan?" tanyaku ketika tangannya sudah berada di depan blouseku, melepas kancing pertama dan bergerak menuju kancing berikutnya.

"Aku merindukanmu, noona. Tubuhmu, sentuhanmu, kelembutanmu, pasrahmu, semuanya, aku ingin memilikimu...." kata-katanya seperti gumaman yang hampir tidak terdengar. Aku bergidik mendengar kalimatnya yang sangat seduktif. Lalu bibirnya dengan lembut mengecup cuping telingaku hingga kelopak mataku terpejam.

"Ini di kantor, Kook," kataku berharap kesadarannya kembali.

"Selain di kantor aku tidak tahu kapan bisa bertemu denganmu, noona."

Aku melirik jam dinding tepat di depanku, sudah pukul 6 sore. Harusnya kami sudah pulang dari kantor sekarang. Semoga masih banyak orang di luar ruangan Jungkook sehingga tidak jadi masalah ketika aku keluar kantor sedikit larut. Aku tersentak ketika dengan entengnya Jungkook mengangkat tubuhku untuk didudukkan di atas meja kerjanya. Jungkook menempatkan dirinya di antara kedua kakiku sambil terus mencumbuku. Kecup-kecup bibirnya menyentuh kulit leher dadaku tanpa henti.

"Jungkook, tolong hentikan....," sekuat tenaga aku menahan desahanku ketika kulit kami sengaja disentuhkan olehnya. Blouseku sudah terbuka hingga pundak, tapi belum tanggal dengan sempurna. Tapi tangan Jungkook sudah berada di punggungku untuk meraih pengait braku. Kakiku dilebarkan hingga pusat tubuh kami sudah saling menyentuh walau masih tertutup pakaian.

"Jisoo nonaa....aaaaaah, sekali saja... Aku mohon," ucapnya sambil terus memberikan sentuhannya padaku. Rasanya mataku meremang sekarang juga.

Dualisme [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang