Bab 6

39.4K 2.6K 17
                                    

Setelah Exelle mengantar Shaen pulang, sepanjang malam Shaen terus menyentuh bibirnya. Seakan tak percaya Exelle menciumnya, meski tujuannya hanya untuk membuatnya diam, tetap saja hatinya sedikit kacau dengan ciuman tersebut. Bahkan sekarang kepala Shaen dipenuhi bayangan Exelle. Wajah tampannya saat tertawa, godaannya, bahkan rasa manis bibirnya masih bisa Shaen rasakan. Tak cukup sampai disitu karena malamnya, mimpi Shaen dipenuhi oleh Exelle.

Tak berbeda jauh dengan Exelle karena dipikirannya juga dipenuhi oleh Shaen. Exelle tak bisa lagi menahan perasaannya. Dia tak bisa lagi untuk tak peduli terhadap Shaen karena perasaannya kepada Shaen semakin membesar semenjak kematian Kakaknya.

"Sialan kau Kak, sekarang aku mengaku kalah darimu. Kali ini aku tak mungkin melepaskan Shaen. Persetan karena dia pernah menjadi istrimu. Aku yakin, aku bisa membahagiakannya daripada dirimu. Kamu mati meninggalkan beban pada Shaen. Mulai sekarang beban itu akan aku ambil. Aku tak peduli dengan hartamu, tetapi melihat Shaen bahagia dan tak berbeban lagi itu lebih penting dari apapun," kata Exelle seakan Axelle ada di depannya.

Paginya Shaen melihat semua bukti yang dia butuhkan ada di meja kerjanya. Shaen melirik ke meja Exelle dan ternyata masih kosong. Dia bernafas lega karena dia masih butuh waktu untuk bisa bertemu Exelle lagi.

"Selamat pagi Kakak Ipar."

Belum juga bernafas lega, Shaen dikagetkan suara Exelle di belakangnya. Saat Shaen membalikkan badan, dia harus mencengkeram kuat meja di belakangnya karena penampilan Exelle membuat nafasnya tersendat.

Wajah Exelle tampak lebih segar dari biasanya, jauh lebih tampan dari hari-hari sebelumnya.

"Exelle, kamu mengagetkanku. Apakah ini semua bukti yang kamu katakan semalam?" tanya Shaen sambil menunjuk semua dokumen yang ada di mejanya.

"Yup betul, itu semua bukti yang kamu butuhkan dan beberapa orang di dalamnya sedang dalam proses hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya," jawab Exelle.

"Terimakasih untuk bantuanmu."

"Sama-sama Kakak Ipar, jangan segan jika butuh bantuanku, tanganku terbuka untuk membantumu. Mau kopi? Aku baru saja membuatnya sambil menunggumu datang."

"Tidak, terimakasih. Perutku sedikit sensitif terhadap kopi."

"Ok, aku akan mengingatnya kalau begitu."

"Exelle, apakah kamu tak membenciku seperti keluargamu yang lain?"

"Membencimu? Saat kamu masih menjadi istri Kak Axelle, aku membencimu tetapi sekarang sepertinya rasa benci itu telah menghilang bersama dengan kematian Kak Axelle."

"Apakah kamu sangat membenci Axelle? Perlu kamu ketahui, Axelle sangat menyayangimu."

"Aku hanya sekedar membencinya bukan sangat membencinya. Rasa benci itu yang membuat aku hidup untuk bisa bersaing dengannya. Aku juga menyayanginya, bagaimanapun juga dia adalah Kakakku."

Shaen mengangguk pelan mencoba untuk mengerti posisi Exelle karena dia tahu bagaimana perlakuan keluarga Mahawira terhadap Exelle.

"Apakah kamu mencintai Kakakku?" pertanyaan Exelle mengagetkan Shaen.

"Bagaimana aku menikahinya jika aku tak mencintainya."

"Mungkin saja Kakakku memaksamu, aku dengar Kakakku mengambilmu dari tempat pelacuran."

"Hmm itu, aku..."

"Maaf jika pertanyaanku melukaimu, lupakan saja jika kamu keberatan dengan pertanyaanku. Asal kamu tahu, aku tipe orang yang suka berterus terang, jadi maafkan aku jika kedepannya akan ada banyak pertanyaan yang mungkin membuatmu sedikit tidak nyaman."

Mutiara yang Tersembunyi (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang