Dua

793 40 40
                                    

Penulis:
Elfia yulianur fiaaanr
Septiana fatihatul M. septianafm
.
.
Happy reading.🌿
.
.
.

Matahari begitu terik siang ini. Tak seperti biasanya, kali ini aku berjalan kaki pulang ke rumah. Yah, Bara meninggalkanku. Dia pulang duluan dari sekolah tanpa pamit. Aku rasa, dia masih marah dengan kejadian di kantin—sewaktu dia mengetahui bahwa aku mempunyai cowok melalui aplikasi Hi heart! tersebut. Bukannya itu terbalik, ya? ‘kan seharusnya aku yang kesal dengan Bara karena melihat privasi-ku tanpa izin. Huh, menyebalkan. Tetapi, daripada permasalahan ini semakin runyam, akupun berinisiatif pergi ke rumah Bara untuk meminta maaf.
     
Dan, ya. Aku sudah sampai di pelataran rumah bernuansa cream dengan pagar hitam yang mengelilingi rumah tersebut. Rumah ini adalah kediaman Bara Zabirue dan ayahnya.
 
Aku mengetuk-ngetukkan jemariku—berharap sang pemilik rumah itu keluar dan membukakan pintunya. Benar saja, terdapat wanita paruh baya yang sudah bertengger di ambang pintu. Wanita itu adalah asisten di rumah Bara, namanya Bi Darti. Biasanya aku akan langsung menuju lantai dua, menemui Bara di kamarnya. Tetapi berhubung cowok tersebut tengah marah padaku, aku berbasa-basi terlebih dahulu pada Bi Darti.

“Bara di rumah nggak, Bi?” tanyaku sopan.

“Eh, Neng Ana. Ada, itu Den Bara lagi nge-game di kamarnya,” ucapnya. “Masuk aja, Neng.”

“Siap, Bi.”

Aku pun menyusuri satu persatu anak tangga rumah minimalist dengan gaya eropa tersebut. Tembok cream tersebut dipenuhi foto-foto dari keluarga Bara. Ada Bara, Papanya, dan juga ... ah menyedihkan sekali jika harus mengingat bahwa Mama Bara telah meninggal beberapa tahun silam karena kecelakaan. Keluarga yang dulunya harmonis itu perlahan hancur akibat kepergian sosok wanita yang berperan andil dalam keluarga Bara.

Tok ... tok ... tok ....

Aku mengetuk pintu kamar Bara. Dan dari dalam kamar, terdengar suara, “Masuk aja.”

Setelah mendengar jawaban itu, aku menarik knop pintu kamar Bara dan membawa tubuh mungilku ke dalam kamar dengan cat abu-abu yang mendominasinya. Pandanganku tertuju pada cowok pemilik lesung pipi yang kini tengah fokus memainkan stik game-nya. Bara tak menyadari kehadiranku.

Agak ragu, aku mendaratkan bokongku di bibir kasur Bara. Pemuda tersebut pun menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Loh, Na. Sejak kapan lo di situ?”

Memang, ya. Ketika cowok sudah dihadapkan dengan game pasti mereka tidak akan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Seakan dunia ini hanya miliknya dan tentu game-nya.

“Sejak Donal Trump jadi presiden Korea,” jawabku asal.

Tak ada perubahan ekspresi yang ditunjukkan Bara.

Ah iya, dia kan masih marah sama gue, batinku.

“Lo ngapain ke sini?” tanyanya dingin.

“Lo masih marah sama gue, Bar?” Bukannya menjawab pertanyaan Bara, aku justru berbalik bertanya pada pemuda itu.

“Hm.”

“Bar, jangan gitu, dong! Lo boleh ngomelin gue sepuasnya, bahkan ceburin gue ke samudra pasifik sekalipun! Tapi, please jangan dingin kaya gitu ke gue!” Aku mengerucutkan bibirku, kesal.

“Beneran lo mau gue ceburin ke Samudra Pasifik?”

Tak kusangka, Bara akan menjawabnya seperti itu. Apa dia sudah tidak marah? Secepat ini? Ah iya, aku lupa! Dari dulu, Bara kan memang tidak bisa berlama-lama marah kepadaku.

Alkana || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang