Penulis :
Elfia yulianur fiaaanr
Septiana fatihatul M. septianafm
.
.
Happy reading.🌿
.
.
.
“Na ... bangun, Sayang, udah hampir jam tujuh, loh.”
Suara mama yang berasal dari depan pintu kamarku, membuat mataku terbuka. Aku melirik jam di atas nakas, jarumnya sudah menunjukkan angka 06.50. Yang artinya, beberapa menit lagi bel masuk SMA Bagaskara akan berbunyi.
Saat hendak bangkit dari ranjang tidur, tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan mataku berkunang-kunang.
Ah, mungkin efek menangis semalam, pikirku.
Karena tak kunjung merasa baikan, aku kembali membaringkan tubuhku di atas bed cover. Tak lama kemudian, mama masuk ke kamar dengan wajah yang khawatir.
“Kamu sakit, Na?”
“Nggak kok, Ma. Kepala Ana cuma pusing dikit,” jawabku sambil tersenyum singkat.
“Nggak papa gimana? Ini badan kamu panas semua.” Mama menempelkan punggung tangannya di dahiku. “Mata kamu juga ... kenapa jadi merah gini? Bengkak, lagi? Habis nangis semalam?” todong mama seraya memicingkan matanya.
“Semalam aku nonton drakor, Ma. Ada adegan sedih, jadi gini, deh ...." jawabku pelan, takut ketahuan berbohong.
“Sejak kapan kamu suka drakor?” tanya mama sambil bercakak pinggang.
“Ma, anak kita ini lagi sakit, masa diinterogasi gitu, sih?” Suara papa dari belakang membuatku bernapas lega. “Kita ke dokter, yaa.”
“Nggak usah, Pa, lagian nanti juga sembuh sendiri, kok.” Aku memasang wajah memelas di hadapan orangtuaku agar mereka tak kekeh membawaku ke rumah sakit.
“Tapi kamu lagi sakit, Sayang.”
“Please, Pa, aku nggak mau ke dokter.”
Mama dan papa menghela napas, pasrah. “Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Mama mau siapin bubur sama obat untuk kamu.”
“Iya, Ma.”
“Kamu lagi ada masalah, Nak?” tanya Papa sepeninggal mama. Ini dia yang kusuka dari lelaki paruh baya itu, beliau selalu berkata lembut ketika aku yang menjadi lawan bicaranya, tak pernah sekalipun membentak.
“Nggak kok, Pa. Ana cuma kecapean.”
“Nggak papa kalau kamu belum mau cerita. Nanti kalau udah siap, cerita ke Papa aja, ya. Papa pasti siap jadi pendengar yang baik untuk putri kesayangan Papa.”
“Ah makasih, Pa,” ucapku seraya menghambur ke pelukan papa.
“Sama-sama, Sayang.” Papa mengelus lembut puncak kepalaku.
Papa melirik arloji yang meliliti pergrlangan tangan kirinya. “Sekarang Papa ke kantor dulu ya, kamu istirahat di sini, jangan banyak pikiran.”
“Iya, Pa.”
Papa mencium keningku, lalu beranjak pergi ke kantor. Tak lama kemudian, mama pun datang membawa nampan yang berisikan obat dan bubur.
“Na, makan bubur dulu, setelah itu minum obat,” suruh mama sambil meletakkan nampan di atas meja yang berada di samping tempat tidurku.
“Ah Mama ... aku, kan, nggak suka bubur,” ucapku sambil merengek.
“Kamu lagi sakit, jadi harus makan bubur.”
“Tapi buburnya nggak enak, Ma.”
“Siapa bilang nggak enak? Buburnya enak loh, cobain dulu, ya.”
Aku mengangguk dengan malas. “Tapi suapin ya, Ma.”
“Iya, Sayang.”
Setelah menghabiskan semangkuk bubur tadi, lantas aku meminum obat yang sudah mama siapkan.
“Kamu istirahat saja dulu di sini ya, jangan banyak pikiran, mama mau keluar sebentar,” pamit mama sambil mengusap kepalaku.
“Makasih ya, Ma, udah ngerawat aku.”
“Apaan, sih, kamu? Ini kan memang tugas Mama,” ujar Mama.
“Oh iya, Na ... tadi Mama juga udah telepon ke pihak sekolah, kalau hari ini kamu nggak akan masuk karena sakit.”
“Iya, Ma,” jawabku pelan.
“Ya udah kalo gitu Mama keluar sebentar, ya.”
“Mama mau ke butik?”
Kulihat, wanita di depanku itu menggeleng. “Nggak, kok. Hari ini Mama mau nemenin bibi belanja ke pasar.”
“Oh iya, hati-hati, Ma.”
“Iya, Sayang. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
******
“Permisi, Non, ada temen Non Ana di bawah.”
“Siapa, Bi?” tanyaku sopan.
“Non Bella, Non.”
“Suruh langsung naik ke kamar aku aja ya, Bi.”
“Baik, Non.”
Aku menghela napas dengan kasar. Aku kira yang datang tadi adalah Alka.
Mikir apa sih gue? batinku.
“Na! Lo sakit apa?” teriak Bella ketika tiba di kamarku.
“Apaan, sih, Bell? Santai aja kali, nggak usah teriak gitu. Gue cuman kecapean aja kali,” dengusku.
“Santai pala lo! Gimana gue nggak heboh? Perasaan kemarin lo baik-baik aja, deh. Eh tau-tau denger berita kalau lo sakit.”
“Ya ampun Bella ... mana gue tahu kalo hari ini gue tiba-tiba sakit.”
“Pasti kebanyakan pikiran lo.”
“Udah lah, Bell ... gue nggak papa, kok. Cuman sakit biasa doang.”
“Ya udah deh, terserah lo! Oh iya Na, gue bawa berita buruk buat lo.”
“Apaan?” tanyaku penasaran.
“Tadi Alka sama Bara berantem di sekolah.”
“Hah?” Aku benar-benar syok mendengar penuturan Bella. “Bell, lo serius?”
“Yakali Na, gue becanda masalah ginian,” kesal Bella.
“Lo tau kenapa mereka bisa berantem?”
“Nggak tau sih, Na.”
Aku mengangguk pelan. Kenapa mereka bertengkar lagi? Padahal, Bara sudah berjanji untuk tidak bertengkar lagi. Dan sekarang cowok itu telah mengingkarinya. Huft
“Maaf, Non, ada paketan di bawah.” Aku merinding ketika mendengar penuturan asisten di rumah tanggaku itu.
“Yang bener, Bi?”
“Iya, Non. Paketannya atas nama Anastasya Franinda.”
“Oh iya, Bi. Bisa tolong ambilkan?”
“Baik, Non.”
Aku menghela napas, gusar. Kali ini paketan apa lagi itu?
“Kenapa lo? Kok syok banget?”
“Eh nggak kok,” ujarku cepat.
“Nggak gimana? Kita bukan baru kenal sebulan atau dua bulan ya, Na. Gue tau, lo pasti nyembunyiin sesuatu.”
“Perasaan lo aja kali, Bell,” alibiku.
“Lo nggak pinter bohong ya, Na.”
Aku mendesah lega, ketika bibi datang membawa paketan itu. “Makasih, Bi.”
“Iya, sama-sama, Non.”
Aku menerima paketan itu dengan tangan yang gemetaran, ingin rasanya aku banting kotak berwarna cokelat itu ke lantai. Namun, di sini ada Bella. Pasti dia akan curiga.
“Kok lo nggak buka paketan itu?” tanya Bella.
“Eh ntar aja deh, Bell.” Bella menatapku dengan curiga.
“Emang itu paketan dari siapa, sih? Perasaan, lo jarang banget mesen kek gitu.”
“Ah, i—ini, tuh ... dari sepupu gue,” jawabku gelagapan.
“Masa, sih?” Bella memicingkan matanya, lalu menatapku dengan tatapan intimidasinya.
“I ... iya, Bell.”
“Kalo gitu coba lo buka.”
“Ntar aja.”
“Lo yang buka atau gue?”
Mau tak mau aku membuka paketan itu. Dengan tangan gemetar aku melepas kertas yang membungkusnya dengan hati-hati.
“Aaaaaa ....” teriakku ketika melihat isi paketan itu.
“Kenapa, Na?” tanya Bella, ia terkejut melihatku yang berteriak histeris.
Aku membuang paketan itu di lantai, sehingga semua isinya berserakan. Bella yang melihat isi paketan tersebut pun tak kalah syok denganku.
“Na, apa ini alasan lo nggak mau buka paketan itu tadi?”
“I ... iya Bell,” jawabku sesegukan.
“Lo tenang dulu ya, nggak usah nangis,” bujuk Bella sambil mengusap pelan bahuku.
“Gue takut, Bell,” ucapku lirih.
“Lo nggak usah takut gue akan nemenin Lo.”
“Makasih, Bell.”
“Iya sama- sama, Na. Sekarang kita mikirin dulu, siapa orang yang tega neror lo kek gini?”
Aku menatap potongan tangan itu di lantai. Darahnya masih segar. “Gue juga nggak tau, Bell.”
“Lo udah sering dapat paketan seperti itu?”
Aku mengangguk. “Udah tiga kali, Bell. Pertama kodok yang di sekolah itu, terus kelinci, nah sekarang potongan tangan.”
“Menurut gue, orang itu pasti deket sama lo, mungkin aja dia temen sekolah kita, soalnya dia pernah ngirimin lo kodok mati pas sekolah.”
“Mungkin aja kali, Bell.”
“Lo nggak curiga gitu sama seseorang?”
Aku mengangguk ragu seraya berkata, “Alka.”
“Hah, Alka?”******
Hayoloh, apa benar Alka yang neror Ana?😂
Jangan lupa vote+koment, yaa.👉👈
See you next part.❤️Salam dari kami,
Author Explorer.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alkana || END
Teen FictionHi heart! Sebuah aplikasi pencarian jodoh mempertemukanku dengannya. Dia yang selama ini membuatku senyum-senyum sendiri, namun tak pernah aku ketahui identitasnya. Sebut saja dia adalah 'My Prince'. Di sisi lain, terdapat seorang pemuda berhati es...