Tujuh Belas

420 23 4
                                    

Penulis :
Elfia yulianur fiaaanr
Septiana fatihatul M. septianafm
.
.
Happy reading.🌿
.
.
.

Bel pulang SMA Bagaskara menggema di seantero sekolah. Bu Renata yang mengisi jam terakhir di kelasku pun meninggalkan kelas 11 MIPA 3. FYI, tugas di modul sudah dicocokkan dan aku mendapatkan nilai 95. Sebenarnya, hasil pekerjaan Alka itu seharusnya mendapat nilai 100, tetapi aku sengaja menyalahkannya agar bu Renata tidak curiga.

“Bisa mati gue kalau ketauan minta bantuan Alka,” dumelku.

Aku dan Bella berjalan beriringan keluar kelas.

“Yuk, Na,” ucap Bara yang sudah berada di depan kelasku.

Aku menatap Bella. Dia nampak biasa saja, namun dari sorot matanya masih ada harapan untuk memiliki seorang Bara. Sebenarnya, aku pun merasa tak enak hati pada gadis itu karena aku terlalu dekat dengan Bara. Namun, Bella memakluminya. Katanya, aku lebih dulu mengenal Bara, jadi wajar jika Bara lebih dekat denganku dari pada dengannya. Toh, hubunganku dan Bara hanya sekadar sahabat. Tidak lebih.

“Lo pulang sama siapa, Bel?” tanyaku.

“Bareng kita aja gimana?” tawar Bara, “eh lupa! Gue kan bawa motor, mana bisa bertiga.”

“Nggak usah. Gue bareng David,” balas Bella dengan nada sebiasa mungkin.

“David yang kelas IPS 5 itu?” tanya Bara yang dibalas anggukan kecil dari Bella.

“Kalian pacaran?” Lagi, Bella hanya mengangguk.

“Setau gue, David itu sukanya mainin cewek, terus dia juga anak geng motor. Lo kok mau, sih, pacaran sama dia?”

Ck! Kapan lo peka, sih, Bar? Bella tuh maunya sama lo bukan David. David Cuma tempat pelaraiannya! pekikku yang hanya tercekat pada tenggorokan.

“Ee ... gu—gue yakin David bisa berubah, kok,” jawab Bella terbata-bata.

“Lo cewek baik, gue yakin cowok lo bisa berubah demi lo.” Bara mengacak-acak pelan rambut Bella.

Ya Tuhan! Pasti saat ini Bella sedang jantungan. Bara itu keterlaluan. Dia tidak mau memahami perasaan Bella, namun dia selalu membuat Bella baper.

“I—iya. Yaudah Na, Bar, gue duluan, ya.”

“Hati-hati, Bel,” jawabku.

“Bella kok aneh gitu sih, Na?” tanya Bara setelah Bella jauh dari jangkauanku dan Bara.

“Aneh kenapa?”

“Ya gitu ... ditanya jawabnya gelagapan, terus buru-buru pergi lagi.”

“Dia lagi normalin detak jantungnya, Bara,” desisku sepelan angin.

“Lo ngomong apa, Na?”

“Ee ... mungkin Bella udah ditungguin sama David makanya buru-buru.”

Bara menjawabnya dengan oh panjang. Lalu ia kembali bertanya, “Kok tadi pagi lo berangkat duluan, sih?”

“Oh iya gue lupa ngomong sama lo. Gue tadi berangkat duluan karena mau nyontek kimia dulu.”

Bara menoyor pelan kapalaku. “PR tuh dikerjain di rumah bukan di sekolah. Lagian lo nyontek punya temen, emang jawabannya udah pasti bener?”

“Bener dong! Gue kan dibantuin sama Al—“ Aku menggantungkan kalimatku.

“Alka?”

“Bu—bukan. Maksud gue, gue dibantuin sama Al—Aliya tadi,” alibiku.

Semoga Bara percaya. Aku membatin.

“Oh Aliya .... ” Aku menghela napasku, lega.

“Ya udah, yuk pulang,” ajakku.

“Yuk.”

“Oh iya, Bar. Nanti lo pulangnya mampir dulu ke rumah gue, ya. Gue mau cerita sesuatu.”

“Okelah, yang penting mama lo hari ini masak banyak!”

“Yee, emang lo nggak ada makanan di rumah?”

“Mama gue udah nggak bisa buatin masakin makanan lagi buat gue,” kata Bara dengan suara parau.

Sorry, Bar. Gue nggak maksud untuk ngingetin lo lagi sama almarhumah Tante Elena.” ucapku merasa bersalah.

“Iya nggak papa.” Bara berjalan terlebih dahulu disusul denganku yang mengekorinya.


******



“Eh ada Nak Bara. Udah lama, nih, nggak main ke rumah Ana,” sapa Mama ketika aku dan Bara sampai ke rumah.

“Iya, Ma ... akhir-akhir ini Bara sibuk.”

FYI, Bara memang memanggil mamaku dengan sebutan ‘mama’.  Dua tahun yang lalu, ketika tante Elena—ibunya Bara, meninggal, mamaku meminta agar Bara memanggilnya dengan sebutan ‘mama’. Mungkin untuk mengurangi beban cowok itu.

“Bara tuh ketua ekskul fotografi di sekolah, Ma. Makannya sibuk terus.” Aku ikut menyahutinya.

“Wah ... calon fotografer, nih!”

“Hehe doain aja, Ma.”

“Pasti Mama doain, dong. Btw, kamu mau dibikinin minuman apa?”

“Air putih aja,” jawab Bara sopan.

“Yee bohong, Ma! Tadi di sekolah aja bilangnya mau ke rumah Ana, kalau Ana sediain makanan banyak.”

Aku melihat wajah Bara yang memerah. Setengah mati aku menahan tawa melihat ekspresi konyolnya itu.

“Kalian ada-ada aja. Ya udah Mama ke dapur dulu, mau masakin buat kalian,” pamit Mama,  “Eh mau dibuatin makanan apa?”

"Rendang super pedes sama telor dadar!” ucapku dan Bara kompak. Sebelumnya, aku dan Bara memang sering melakukan ini.

Mama menggeleng-nggelengkan kepalanya. “Ya udah tunggu, ya.”

Sembari menunggu masakan mama datang, aku dan Bara duduk di sofa ruang keluarga untuk mononton televisi.

“Eh, Na. Lo minta gue ke rumah lo buat cerita apa?”

Aku mengubah posisi dudukku agar menatap Bara. Lalu insiden kotak yang berisi kodok mati itu kuceritakan pada Bara.

“Gue takut banget, Bar ... gue takut ada yang mau nyelakain gue” tukasku setelah menyelesaikan cerita itu.

“Tenang, gue akan selalu lindungin lo.” Bara mengelus puncak kepalaku. “Lo ada musuh nggak di sekolah?”

Aku mencoba mengingat-ingatnya. Apakah aku pernah berbuat salah pada anak-anak Bagaskara.

Kak Resha? Mana mungkin! Lagi pula jika kakak kelasku itu merasa tidak suka denganku, pasti dia akan melakukan kejahatannya secara blak-blakkan—seperti yang ia lakukan beberapa waktu silam di toilet sekolah.

“Alka? Nggak menuntup kemungkinan, ‘kan cowok itu yang melakukannya?” tuduh Bara.

“Kok lo bisa mikir kalau Alka yang ngelakuin?”

“Gue emang nggak tau masalah kalian apa. Tapi, coba lo pikirin baik-baik, deh. Sekarang, lo lagi marahan sama dia, ‘kan? Gue juga denger dari anak-anak Bagaskara kalau lo sempet nampar Alka di depan umum. Bisa jadi, Alka benci sama lo dan berniat balas dendam, Na.”

“Iya juga sih, tadi pas di kantin gue juga liat ada noda darah di baju Alka.”

“Nah, kan. Udah jelas, pasti Alka yang naruh kodok mati di tas lo itu.”

Masa iya Alka? Tidak mungkin Alka setega itu padaku. Bagaimanapun juga, aku pernah mengisi separuh hatinya. Dia tidak mungkin membuat gadisnya menangis.


******



Rembulan malam beserta kelap-kelip bintang menghiasi kota metropolitan. Semilir angin malam pun menerpa rambut panjangku. Sekali lagi, aku melirik ke jendela, namun, seseorang yang kutungu-tunggu belum menampakkan batang hidungnya.

Ya, aku sedang menunggu mama dan papa pulang. Mereka sedang pergi ke restoran—untuk menemui klien papa di sana. Sedangkan aku, sendirian di rumah.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu rumahku terketuk. Apa itu mama dan papa? Tapi, kenapa suara mobilnya tidak terdengar?

Agar aku tak menduga-duga saja, aku pun keluar dari kamarku dan membuka pintu ber-cat putih.

“Loh kok nggak ada orang?” Aku mengedarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. “Mungkin kucing kali, ya,” pikirku.

Saat aku hendak masuk kembali ke rumah, bola mataku menangkap suatu kotak yang tergeletak di samping pintu. Aku pun memgambilnya.

Kotak yang terbungkus kertas coklat layaknya sebuah paketan itu ditujukan padaku. Lalu, aku membawa kotak itu ke kamar.

“Siapa yang ngirimin paketan semalem ini?” Aku membuka bungkus berwarna coklat itu.

“Aaaaaaa!” teriakku seraya melempar kotak paketan itu ke sembarang tempat.

Di sana, terdapat beberapa kelinci mati dengan darah segar yang masih mengalir dari leher kelinci-kelinci tersebut.

Dengan gerakan secepat kilat, aku naik ke atas ranjang tidur dan bersembunyi di balik selimut. Di dalam selimut, aku menangis histeris karena rasa takut yang menguasai diriku.

Tadi, di sekolah kodok dan sekarang kelinci. Lalu kedepannya apalagi?

Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan orang yang telah mengirimku kotak berisi hewan-hewan mati itu. Tak terkecuali dengan orang terdekatku sekalipun.

Setelah beberapa menit aku bersembunyi di selimut, aku memberanikan diri untuk memeriksa kembali kotak itu. Mungkin di sana terdapat petunjuk untuk menguak sang pelaku.

Benar, ada sebuah pesan yang ditulis sang pengirim melalui secarik kertas. Aku pun membacanya.

From : Unknown
Gimana kejutannya? Menarik bukan?


Gambaran wajah tampan Alka pun muncul di kepalaku

“Setega ini lo ngelakuin ini semua ke gue? Gue benci lo, Alka!”

Dalam naungan rembulan, aku hanyut bersama tetesan demi tetesan air mataku.

******

Jangan lupa vote+koment, guys.👉👈
See you next part.❤️

Salam dari kami,

Author Explorer.

Alkana || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang