Dua Satu

435 23 7
                                    

Penulis:
Elfia yulianur fiaaanr
Septiana fatihatul M. septianafm
.
.
.

"Ba... ra?" Berulang kali aku berkedip—untuk memastikan apakah mataku ini salah menangkap orang atau tidak.

"Iya gue Bara. Bara yang selalu lo bangga-banggain. Bara yang selalu antar jemput lo ke sekolah. Bara yang selalu dengerin cerita lo. Bara yang selalu ada buat lo. Dan yang paling penting, gue Bara yang neror lo 2 hari belakangan ini."

"Lo—lo jangan main-main, deh Bar! Nggak lucu tau!" Otakku belum sepenuhnya merangsang perkataan Bara. "Lo kesini mau bantuin gue sama Alka, 'kan?"

Bara berdecih lalu berkata, "Jangan terlalu naif, Na! Emang kenyataannya gue yang udah neror lo selama ini! Kodok mati, kelinci mati, juga potongan tangan. Itu semua gue yang ngirim!"

"Tapi waktu itu gue pernah cerita sama lo di hari gue nerima kiriman kodok mati di sekolah. Lo terlihat biasa aja. Bahkan waktu itu lo memberi sugesti kalau Alka lah yang neror gue." Aku masih mencoba berpikir positif pada Bara. Tidak mungkin, Bara setega ini padaku.

"Lo percaya dengan ucapan gue? Bego banget sih, Na! Gue nuduh Alka yang ngelakuinnya karena gue pengen hubungan kalian semakin buruk!" Rahang Bara mengeras, begitupun dengan urat-urat di leher Bara yang ingin keliar dari tempatnya.

Bak disambar petir, cairan bening dari mataku mengucur deras. Sedikit demi sedikit aku mencoba menerima kenyataan bahwa Baralah pelaku atas peneror—an–ku.

"Lo neror Ana? Bangsat lo!" Alka yang sedari tadi diam pun membuka mulutnya. Dia mengambil ancang-ancang untuk menghantamkan satu pukulan ke wajah Bara.

"Jangan, Al! Jangan pukulin Bara!"

"Tapi Na—"

"Aku mohon! Mungkin Bara punya alasan kenapa dia ngelakuin ini," pintaku yang disetujui Alka dengan anggukan kecil.

"Aku beralih menatap Bara. "Gue punya salah apa sama lo, Bar? Kenapa lo setega ini ke sahabat lo sendiri? Lo brengsek!"

Bara menyunggingkan bibirnya membentuk lengkungan senyuman kecil. Bukan senyuman manis yang sering kudapatkan darinya, melainkan sebuah senyuman iblis.

"Itu salahLo! Lo nggak pernah ngertiin perasaan gue selama ini!" teriak Bara. "Apa  sepuluh tahun ini lo pernah ngertiin perasaan gue? Enggak! "

"Dulu saat kita masih kecil, lo pernah nangis gara-gara mainan lo diambil sama orang. Saat itu gue ngamuk di kelas. Gue pukulin semua anak-anak di sana. Karena apa? Gue nggak bisa liat lo nangis! Lalu saat lo kegores pisau sampai berdarah, gue sengaja goresin pisau itu ke tangan gue juga. Buat apa? Karena gue pengen tau sakit yang lo rasain! " Napas Bara menderu kencang. "Apa itu semua nggak bisa nunjukin kalau sebenarnya gue suka sama lo, Na?"

Tangisku semakin pecah mendengar pengakuan dari seorang Bara. Ada rasa kecewa sekaligus bersalah dalam benakku.

"Gue nggak tau, Bar. Gue nggak tau kalau selama ini lo punya rasa lebih ke gue." Tubuhku bergetar hebat, lalu kubiarkan lutut ku menyentuh lantai. "Kenapa lo nggak bilang dari dulu? Mungkin semuanya nggak akan serumit ini."

"Dari dulu?" tanya Bara sinis. "Lo aja selalu nyiptain batasan saat gue pengen bicara jujur tentang perasaan gue. Lo juga mengikat gue hingga gue bertindak layaknya pecundang. Dan yang paling penting, lo selalu bilang, kalau persahabatan yang dibumbui dengan rasa yang lebih dari salah satu pihak hanya akan saling menghancurkan dan berujung perpisahan. Apa gue punya pilihan lain selain bungkam?"

Skakmat!

Sepertinya akulah yang bertanggung jawab atas permasalahan ini.

Bara tertawa menyeringai. "Mendadak lo bisu, Na?"

Aku sesenggukan. Diam tak berani meyuarakan argumenku lagi.

"Brengsek!" Nyata, Alka melayangkan satu pukulan ke samping bibir Alka.

"Lo bilang lo suka dia kan? Terus apa yang lo lakuin saat ini? Lo justru malah neror dia! Lo bikin Ana nangis!"

Bara tidak membalas pukulan itu. Ia mengusap kasar darah yang mengucur dari bibirnya.

"Wait, Man! Lo kira gue setega itu ngirim Ana binatang mati hanya untuk ngungkapin perasaan gue selama ini ke dia?" Bara mengusap kasar darah yang mengucur dari bibirnya. "Gue rasa, lo lah yang perlu disalahin di sini."

"Jelas-jelas lo lah yang penjahat di sini. Nggak usah nyalah-nyalahin orang atas kesalahan yang lo perbuat sendiri!" Lagi, Alka memukuli wajah Bara. Sementara aku masih menangis di tempatku—tak mempunyai energi untuk melerai keduanya.

"Penjahat punya alasan untuk melakukan kejahatannya," tukas Bara, "dan alasan itu adalah lo Alka Whidarma."

"Maksud Lo apa, Hah?! Gue nggak ada  masalah sama Lo!"

"Lo mau tau, kesalahan Lo apa?!" teriak Bara, "karena Lo ditakdirkan hidup cuma menjadi perebut!"

Perlahan, aku menormalkan kosentrasiku ketika mendengar teriakkan Bara. Dengan tubuh lemah, aku berdiri dan mencoba menghentikan mereka berdua.

"Tunggu, Na... Nggak usah halangin gue buat ngebongkar kebusukan Alka."

"Kebusukan apa sih, Bar! Di sini, Lo yang busuk!"

"Biarin dia ngomong dulu." Alka tampak tertarik dengan arah pembicaraan Bara.

"Sebenarnya, teror yang gue lakuin hanya sebuah perantara. Yapss, seperti yang udah gue bilang tadi. Gue ciptain drama ini semata-mata agar hubungan lo sama Ana hancur! Gue nggak mau liat kalian bersama." Bara berbicara dengan seringaian miring yang tercetak jelas di bibirnya.

"To the point! Nggak usah bertele-tele!" ketus Alka.

"Hahah... lo jadi mirip almarhum Mama, deh."

Aku menautkan alisku—Mengapa jadi membahas mama Bara?

"Mama?" beo—ku.

"Lo belum tau Na? Apa si brengsek ini belum ngasi tahu Lo? Atau dia sendiri pun belum tahu?"

"Jaga mulut Lo!" desis Alka.

"Kenapa? Emang bener kan? Lo itu cuma laki-laki brengsek!" Maki Bara.

"Orang brengsek ngatain orang lain brengsek? Hah lucu!" sinis Alka.

"Bara! Bisa nggak sih, Lo jelasin semuanya? Tanpa harus bertele-tele kek gini?!" Aku berusaha meredam amarah yang menguasai keduanya.

"Dan Lo Al, diam dulu deh," lanjutku.

Sebenarnya aku juga takut melihat Bara sekarang. Wajahnya memerah dikuasai oleh amarah.

"Siapin telinga Lo baik-baik, Alka whidarma!" desis Bara, "gue dan Lo, saudara tiri!"

Aku menutup mulutku tak percaya. Kenapa bisa? Drama apa lagi yang akan terjadi di depanku.

"Nggak usah kebanyakan ngarang deh, Bar," dengusku.

"Ngarang? Hey Anastasya franinda! Gue serius!"

"Nggak mungkin!" Aku masih mencoba menyangkal—apa yang baru saja diucapkan oleh Bara.

Aku melirik ke arah Alka, yang masih terdiam mematung.

"Gue nggak mungkin punya saudara seperti Lo," ucap Alka dengan dingin.

"Lo bisa mengubah takdir? Silahkan! Bahkan gue juga nggak mau punya saudara seperti Lo."

Melihat keduanya yang tersulut emosi, aku segera bangkit, sebekum adu jotos dimulai.

"Udah Al," ucapku menenangkan Alka, "dan Lo Bar, jelasin semuanya tanpa emosi."

Kenapa takdir harus serumit ini?

******

Jangan lupa vote+koment.👉👈

Salam dari kami,

Author Explorer.

Alkana || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang