Empat

613 33 35
                                    

Penulis:
Elfia yulianur fiaaanr
Septiana fatihatul M. septianafm
.
.
Happy reading.🌿
.
.
.

Dengan raut wajah yang menyeramkan, Bara menarik tanganku ke tempat di mana ninja hitamnya terparkir. Tentunya, membawaku jauh dari jangkauan Alka.

“Iya gue pulang sama lo, tapi lepasin tangan gue dulu, Bar. Sakit!”

Sorry,” lirih Bara dengan suara parau.

Cengkraman Bara perlahan mengendur. Marah sekaligus penyesalan menyelimuti wajah tampan cowok itu. Sejak kecil, Bara tak pernah sekasar ini denganku. Baru kali ini dia menarik tanganku sehingga meninggalkan bercak merah di pergelangan tanganku.

“Iya nggak papa. Tapi lain kali jangan emosi kaya gitu, gue nggak suka sama orang yang temprament.”

“Gue lebih nggak suka kalau lo deket sama cowok itu,” ujar Bara to the point.

Aku tersenyum miring mendengar opini Bara yang mengatakan bahwa aku sedang dekat dengan Alka.

“Gue suka sama dia? Kejaiban dunia, deh! Orang dingin sekaligus sombong kaya dia bukan tipe gue, Bar,” tukasku membenarkan opini Bara. “Lagian dia ngajakin gue pulang bareng, mungkin karena dia ngerasa nggak enak karena udah ngebuat gue berurusan sama kak Resha.”

Bara menautkan kedua alisnya, bingung. “Resha? Resha siapa, Na?”

“Ck! Lo nggak tau apa yang gue alamin tadi? Lo ke mana aja, sih?”

“Lo tau kan gue ketua ekskul fotografi, tadi gue ada rapat sama anak-anak,” jelas Bara. ”Jadi, apa yang lo alamin?”

Sesuai dengan permintaan Bara, aku pun mulai menceritakan kejadian di kamar mandi.

Sorry banget, Na. Di saat lo lagi butuh gue, gue malah nggak ada di samping lo! Gue emang bukan sahabat yang baik buat lo.”

“Nggak usah nyalahin diri lo kaya gitu! Lagian tadi udah ada yang nolongin gue juga.”

“Siapa? Gue harus berterima kasih banget sama dia.”

Agak ragu saat aku menjawab, ”Al—Alka.”

Bara membuang wajahnya, muak. “Kenapa harus dia, sih? Caper banget sama lo kayaknya!”

“Lo kenapa sih keliatannya nggak suka banget sama Alka? Kalian aja belum saling kenal, emang ada yang salah ya sama dia? Dia musuh lo?”

“Nggak.”

“Ish Bar, bilang! Lo ada masalah apa sama dia?”

“Suatu saat lo akan tau.”

“Hah? Maksudnya apaan?”

Bukannya menjawab pertanyaanku, Bara justru memakai jaket boomber dan helm full face-nya. Sementara aku masih bergeming—berusaha mencerna perkataan Bara.

Apa yang akan gue ketahui? Kenapa nada bicara Bara serius gitu? Aku bertanya-tanya dalam hati.

“Lo mau jalan kaki atau gimana, Na?”

Saat Bara hendak menancap gasnya, aku berteriak kencang, “TUNGGUIN GUE, BAR!”

***

Tepat pukul 15:30 aku sampai di rumahku. Ralat, rumah kedua orang tuaku. Rumah mewah dengan kolam renang yang terletak di bagian belakang itu tampak sepi. Sepertinya, mama masih berada di butiknya. Sementara papa, dia merupakan seorang pebisnis. Papa hanya akan pulang seminggu satu kali.

Alkana || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang