Lima Belas

445 28 5
                                    

Penulis:
Elfia yulianur fiaaanr
Septiana fatihatul M. septianafm
.
.
Happy reading.🌿
.
.
.

Hari ini mood–ku benar-benar buruk, sejak insiden di kantin tadi.

“Na, lo beneran gak mau maafin Alka?” tanya Bella.

Aku mendengus kesal, “Bell, bisa gak sih, lo jangan nyebut nama dia?”

“Yaa ... sorry, Na. Abisnya gue kasian sama Alka, berlutut kek gitu di depan lo. Padahal lo tau sendiri kan, Alka itu orangnya gimana?”

“Sekali lagi lo ngomong nama dia, gue tampol lo!”

“Yee sadis amat lo!” cibir Bella. “Lagian lo aneh deh, Allah saja maha pemaaf, masa lo nggak sih?”

“Bell! Lo itu ya!”

Rasanya aku pengen saja menangis hari ini. Gak Alka, gak Bella, semuanya ngeselin. Tapi ngomong-ngomong, Bella benar juga sih, masa iya aku harus marah terus sama Alka? Sampai kapan? Ah entahlah!

“Pengumuman! Hari ini guru-guru pada rapat guys, jadi kita bisa pulang cepat!” teriakan Reytno, disambut sorak-sorai dari anak-anak yang lain.

“Nah kan sekarang jamnya bu Renata, jadi kita disuruh ngerjain semua latihan soal bab 3 yang ada di modul.” seketika semuanya mendengus kesal. Begitupun aku, mood jelek, tugas banyak, kurang apalagi coba nikmat mu ya Tuhan?

“Lah busyet.”

“Dikira kita robot apa?”

“Emang ngeselin tuh dia!”

“Gila emang!”

“Gak nanggung-nanggung kalo ngasi tugas!”

“Pengen ditampol mungkin?”

“GUE NGEREKAM SUARA KALIAN LOH! PENGEN GUE TUNJUKIN DAH SAMA BU RENATA!”  Suasana jadi hening, gantian suara tawa Reytno yang membahana. Bukan lagi sorak-sorai dari mereka karena bisa pulang cepat, dan bukan pula dengusan kesal karena banyaknya tugas.

Lagipula siapa sih yang mau berurusan dengan Bu Renata? Sekali hukum langsung membekas di hati!

“Pret, ayolah, please!”

“Tadi itu kita cuman bercanda.”

“Iya kita gak serius kok.”

“Pret, jangan kasi rekaman itu sama Bu renata yaa.”

“Hahah.... Kalian kok pada mau gue kerjain sih?” tanya Reytno sambil tertawa cekikikan.

“Dasar kampret!” teriak semua siswa.

Aku jadi senyum sendiri. Ada-ada saja kelakuan mereka. Suasana ini bisa mengalihkan pikiranku dari Alka.

Drrtt ....

Aku merogoh tasku untuk mencari benda yang bergetar itu. Nah ini dia! Kulihat nama 'Bara my sohib' terpampang disana.

Halo Na,” ucap Bara dari seberang sana.

“Ya halo Bar, ada apa?” tanyaku.

Gue nggak bisa nganterin lo pulang Na, soalnya gue lagi ada ekskul fotografi, atau lo mau nunggu gue aja?” tanya Bara. Aku mendengar ada nada penyesalan dari suara Bara.

“Gak deh, lo pasti lama kan?”

Terus gimana? Apa gue nganter lo pulang dulu deh, terus kembali lagi ke sekolah?

“Gak usah Bar, ntar gue minta jemput dari sopir rumah, atau gue nebeng Bella mungkin.”

Maaf ya Na.”

“Santai aja kali Bar, kayak siapa aja lo.”

Yaudah Na, gue tutup dulu ya, bye.”

“Bye.”

Aku menoleh ke arah Bella—yang kebetulan juga menoleh ke arahku.

“Siapa yang nelpon lo? Gue juga denger lo sebut nama gue.”

“Bara, katanya dia gak bisa anter gue pulang. Jadi gue bilang ntar gue minta dijemput sama sopir rumah, atau nggak gue nebeng sama lo. Nggak papa kan, Bell?”

“duhhh maaf nih Na, bukannya gue nggak mau kasi nebengan sama lo. Tapi, rencananya hari ini gue langsung ke rumah nenek gue, Mama sama Papa gue juga udah di depan. Gak papa kan?”

“Yaudah, gak papa lah Bell, gue bisa minta jemput sama sopir rumah.”

“Atau gini aja, gue anter Lo pulang dulu, terus gue puter balik ke rumah Nenek gue.”

“Terus orang tua lo?”

“Eh iya ya? Mereka ikut aja atau nggak mereka nunggu gue di pos satpam.”

“Nggak usah Bell, gue pulang sendiri aja”

“Beneran? Gue jadi gak enak nih, Na.”

“Beneran gak papa,” ucapku meyakinkan Bella.

“Yaudah gue duluan ya, Na,” ujar Bella sambil merapikan bukunya di atas meja. Teman-teman yang lain pun sudah banyak yang pulang.


******


Aku berjalan menyusuri jalan raya menuju halte terdekat. Kenapa nasibku sial sekali hari ini? Tadi Alka malu-maluin, Bara gak bisa nganter, Sopir rumah juga nganter Mama arisan.

Peluh membasahi tubuhku ketika sampai di halte. Aku mendongak, langit terlihat mendung. Bagaimana kalo hujan? Bagaimana bisa aku pulang? Aku duduk di bangku panjang di halte itu. Semoga saja ada bus di jam segini.

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB, berarti sudah kurang lebih 4 jam aku menunggu di sini. Aku jadi menyesal, tidak meng–iyakan tawaran Bara untuk nunggu dia. Nasib-nasib ... sial amat sih!

Aku mendongak, ketika ada seseorang yang mengulurkan tangannya kepadaku.

“Ngapain lagi lo?” tanyaku dengan suara setenang mungkin, padahal jelas-jelas aku sedang gelisah.

“Na, maafin gue.”

“Apa bagi cowok, memaafkan semudah itu yaa?” tanyaku sinis.

“Na, gue benar-benar minta maaf. Gue akan lakuin apa aja asalkan lo mau maafin gue,”  ucap Alka dengan nada memohon. Tak lupa, ia berlutut di depanku. Untunglah halte sepi,  sehingga kami tidak menjadi pusat perhatian.

“Lo yakin, mau lakuin apa saja kalo gue maafin?” tanyaku dengan nada datar.

“Beneran, Na?” Kelihatannya Alka benar-benar senang, sampai refleks ia memegang tanganku. Aku menghentakkan tangan Alka dengan kasar.

“Eh sorry Na, gue refleks tadi.”

“Hmm.”

“Jadi lo mau apa biar bisa maafin gue?”

“Jauhin gue!” ucapku dengan nada penekanan di setiap kata.

“Na, lo bercanda kan?”

“Apa muka gue kelihatan bercanda?”

Alka beranjak dari posisinya. “Gak ada yang lain, Na? Atau lo mau gue beliin sesuatu?”

“Gue gak butuh barang apapun. Yang gue mau, lo jauhin gue!” aku mendongak untuk menahan air mataku yang hendak turun. Jangan sampai aku menangis di depan Alka! No!

Alka menghela napasnya dengan kasar.
“Oke, kalo itu mau lo, gue akan jauhin lo, gak akan lagi berusaha ngehubungin lo, dan yang paling penting, gue akan berusaha mengubur perasaan gue sama lo,” ucap Alka dengan senyum yang dipaksakan.

Aku tak berani melihat ke arahnya. Hatiku tertohok saat mendengar kalimat terakhirnya. Apa Alka akan benar-benar menjauh?

“Tapi gue bisa anter Lo pulang sekarang kan?” tanya Alka, “Janji deh, ini yang terakhir kalinya gue ngedekatin lo, setelah ini gue akan berusaha buat jauhin lo.”

Aku menangguk, lidahku kelu, tak bisa berkata apa-apa. Bahkan menatapnya saja aku tidak berani.

Sikap Alka masih manis, masih membukakan pintu mobil–persis seperti dulu, ketika aku dan Alka hendak  naik mobil. Selama perjalanan, suasana benar-benar hening. Tak ada yang memulai pembicaraan. Aku membenci situasi  awakward ini. Tapi mau gimana lagi? Aku tidak mungkin memulai pembicaraan.

Sesampainya di rumah, aku menoleh pada Alka, yang ternyata juga menoleh kepadaku.  Aku jadi gugup sendiri. Aku mengalihkan tatapanku dari Alka.

“Makasih,” ucapku pelan.

Aku yang hendak membuka pintu mobil, langsung terhenti karena ucapan Alka, “Gue harap ucapan lo tadi cuma sekedar candaan, Na. Gue tau lo benci sama gue, tapi apa kita nggak boleh lagi temenan?”

Aku tafakur di tempat, dan tanpa menjawab apa-apa, aku langsung turun dari mobil Alka.

******

Jangan lupa vote+koment, guys.👉👈
See you next part.❤️

Salam dari kami,

Author Explorer.

Alkana || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang