Aku terpaksa memakai jaket bertopi untuk menutupi luka di leher ini. Mas Azmir mengajakku makan siang di rumah makan seberang jalan. Meskipun dengan berat hati dan ragu ia akan melihat luka ini, sebisa mungkin bersikap baik-baik saja. Ia pasti akan menginterogasiku panjang lebar. Aku harus menjawab apa?
Siapa dalang di balik semua ini? Kejadian tadi benar-benar membuat pikiranku kalut. Kesadaranku bak terbagi dua, seperti ada yang mengendalikan. Tanpa tanda, tanpa suara. Tiba-tiba ia keluar dan entah apa yang dilakukannya.
"Jin itu bisa berubah jadi apa aja, May. Bisa aja 'kan yang di cermin itu yang menyetubuhimu? Dia ingin mengelabui dengan berubah persis menjadi kamu waktu itu. Padahal bisa aja dia genderuwo yang—" ucap Rani terpotong. Aku menatapnya nanar, ia mulai ketakutan.
"Genderuwo? Kamu percaya ada hal kayak gitu di dunia ini? Maksudku adalah, emang benar jin bisa menghamili manusia? Jadi, di kandunganku ini anak jin?"
"Bagaimana bisa, Ran? Ini nggak masuk akal! Kalau anak jin pasti nggak terdeteksi di sensor USG kemarin. Tapi ini ada, dia tumbuh!" Aku bersikeras tak percaya. Rani menghentikan langkahnya, lalu berbalik ke arahku.
"May, sesuatu yang nggak bisa kita lihat itu memang ada. Percaya nggak percaya. Ini memang nggak masuk akal untuk sebagian orang, termasuk aku. Kita lihat sampai anak ini lahir nanti," ucap Rani sambil melempar senyum tipis.
Setetes air mata jatuh di pipi. "Ran, tolong aku. Ini benar-benar nyiksa batin. Aku curiga sama Mas Azmir, aku takut diperkosa orang lain sebelum Mas Azmir sentuh aku malam itu. Aku takut ibu mengusirku dari rumah. Kehamilan ini aneh dan janggal, Ran."
Ingin rasanya menangis kencang saat itu juga. Namun, ini tempat umum, aku terpaksa menahan gejolak amarah itu dalam hati. Rani memegang tanganku. Sengaja ia datang jauh-jauh demi menemani makan siang dengan Mas Azmir. Aku takut berdua saja dengan lelaki itu, takut hal yang sama terjadi lagi.
"Udah mau nyampe, jangan nangis," kata Rani.
***
"Tumben pakai jaket, Sayang? Biasanya juga dress biasa. Dingin, ya?" tanya Mas Azmir. Aku dan Rani beradu tatap. Haruskah berbohong lagi? Rani mengedipkan mata untuk meyakinkan hatiku saat ini.
"Nggak juga, Mas. Lagi pengen aja. Jaket ini lama nggak dipakai jadi sayang disimpen terus hehe," jawabku. Mas Azmir mengangguk pelan sambil terus menyantap makanannya.
"Oh, iya, Ran. Sekarang kerja di mana?"
"Sekarang nganggur dulu, Az. Gue nggak tahu mau kerja apaan selepas SMA kemarin," jawab Rani. Mereka berdua terlihat akrab. Maklum, satu alumni angkatan SMA dulu.
Setelah itu, hening di antara kami untuk sesaat. Ponselku bergetar tanda ada panggilan masuk. Segera aku bangkit dan menggeser tombol hijau itu.
"Halo?"
[May, pulang sekarang. Ada Mbah Rondo di rumah.]
"Ngapain, Bu?"
[Nggak usah banyak tanya!]
"I-iya, Bu, May pulang sekarang."
Tuuut ....
"Mas, aku disuruh pulang sama ibu. Ada Mbah Rondo di rumah," ucapku. Mas Azmir langsung mendongak dan meletakkan sendok di atas piring.
"Lho, sekarang?"
"Iya, Mas. Tau sendiri 'kan Ibu nggak suka nunda-nunda. Kalian lanjut aja makannya. Aku bisa naik angkot."
"Aku antar aja, Sayang. Kamu lagi hamil lho nanti kenapa-kenapa di jalan."
"Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri. Kasihan Rani sendirian. Makan aja sampai selesai, ya." Akhirnya Mas Azmir mengalah. Ia mengusap bahuku dan tersenyum tipis.
Sepanjang perjalanan, hatiku bertanya-tanya. Ada perlu apa Mbah Rondo datang ke rumah? Bukankah kemarin sudah diberi bunga melati, atau ada hal lain yang belum tersampaikan?
"Assalamu'alaikum," ucapku.
Mbah Rondo menyungging senyum, lalu ekspresinya berubah seperti orang yang ketakutan. Ia terus menatap ke belakangku, mungkin ada sosok menyeramkan di sana. Aku menaruh tas dan duduk di samping ibu.
"Ini, Mbah anak saya."
"Hm ... hm ...."
"Kenapa, Mbah?" tanyaku akhirnya. Mbah Rondo terus menatapku kosong. Ibu yang tadinya tenang mendadak khawatir. Mbah Rondo seperti mengambil sesuatu dalam tasnya. Sebuah dupa dan bunga melati ... lagi.
Ia membakar dupa itu lalu menyebarkan asapnya ke sekeliling tubuhku. Di situ merasa ada sesuatu yang hendak masuk dan mengambil alih kesadaran. Mbah Rondo menutup kedua mataku dengan tangannya. Napas yang berburu, juga detak jantung yang semakin cepat membuatku gelagapan.
"Mbah, anak saya kenapa?" tanya ibu.
Seperti biasa, Mbah hanya menggumam. Ia seperti membaca sesuatu. Asap dupa ini mengganggu pernapasanku. Namun, tiba-tiba aku merasakan panas di daerah lengan.
"Mbaaah! Sakit ...!" ucapku ketika merasakan sakit luar biasa di dada. Bagai ditusuk ribuan jarum, menyiksa. Tubuh bergetar, tangan mengepal kuat. Keringat dingin bercucuran dan aku mulai menangis.
"Tahan, May, tahan."
"Mbaaah ...." Aku sudah tak tahan lagi. Semakin kuat aku memberontak, jin itu seperti enggan keluar dari tubuh. Mbah Rondo berhenti membaca mantra dan menurunkan tangannya.
Ketika membuka mata, pandangan gelap. Napasku tiba-tiba terasa begitu sesak.
'Aku tidak akan keluar!'
"Siapa?" Mbah Rondo yang terkejut melihatku berbicara sendiri langsung menggenggam tanganku.
'Aku adalah kamu. Kamu adalah aku.'
"Apa maksudmu?"
"Siapa kamu, hah? Keluar dari tubuhku! Jangan siksa aku begini."
Dan akhirnya ....
Cairan merah itu kumuntahkan begitu banyak. Tidak hanya darah, ada beberapa jarum tergeletak di sana. Apakah aku terkena sihir ilmu hitam? Ya Tuhan, mengapa ini semakin membingungkan!
***
Terbangun.
Tiba-tiba aku sudah berada di dalam kamar. Di mana ibu dan Mbah Rondo?
"May, kamu harus diruqyah," kata Ibu yang muncul di balik pintu.
"Tapi, Bu, buat apa? May benar-benar dihamili setan?" Aku tergugu, tak menyangka kejadian aneh ini menimpa diri sendiri. Wanita 45 tahun itu tak menjawab, ia memberi ekspresi aneh lalu pergi.
Aku bangkit dan hendak bercermin. Merapikan rambut dan membersihkan wajah. Berantakan sekali. Lama kutatap bayangan sendiri di cermin. Masih Mayang yang dulu. Tidak ada yang berubah, kecuali nasib membingungkan dan menyiksa batin ini.
"Aaargh ...!"
Sudah, aku muak! Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku ini? Teka-teki apa yang sedang direncanakan Tuhan? Tidak ada titik terang, hanya praduga dan tebakan. Seandainya Mbah Rondo bisa bicara, masalah ini pasti cepat menemukan jalan keluar. Aku hanya butuh jawaban iya atau tidak.
Sungguh, aku sudah menyerah.
Sekarang, hanya mengikuti alur takdir membawaku ke mana.
***
Satu minggu menjelang hari pertunangan, ibu dan bapak sibuk mempersiapkan segalanya. Nenek juga menginap di sini untuk membantu bagian konsumsi. Untung saja perutku belum terlihat sedang mengandung. Masih rata seakan-akan tidak hamil. Ini bagus untuk menjaga rahasia dari keluarga besar, termasuk nenek.
"May, auramu gelap betul. Sakit?" tanya nenek curiga.
"Eum ... nggak kok, Nek."
"Atau ...."
Ekspresi nenek yang tadinya teduh mendadak ketakutan. Ia bangkit dan seperti menghindar dariku. Nenek memang bisa melihat jin. Apa dia melihat sosok menyeramkan di sekitar?
Aku tidak tahu tapi ... mendadak kepalaku sakit lagi.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang [END]
Mystery / ThrillerTELAH TERBIT || Part Dihapus Acak! Order novelnya agar bisa membaca keseluruhan -Versi mini seri segera ditayangkan!- Plagiator Harap Menjauh! Pelajari undang-undang hak cipta agar Anda tidak dijatuhi hukum. *** Luka .... Bisakah aku menahannya? Sa...