Luka Mayang 28

1.3K 72 2
                                        

Semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah. Mayang dipakaikan mukenah oleh Ibu Azmir. Ekspresi wajah penuh kecemasan, diselingi rasa penasaran yang memuncak. Azmir tahu ini pasti akan mengejutkan Mayang, ia duduk di samping kekasihnya.

Pak Tio membuka pembicaraan. Beliau membaca surah Al-Fatihah terlebih dahulu, kemudian berdo'a demi kesembuhan Mayang. Wanita itu berada di ujung tanduk, dalam bahaya. Meskipun begitu, kita tidak boleh meremehkan pertolongan Allah yang datang kapan pun dan di mana pun.

"Nak Mayang, delapan belas tahun lalu, ada sebuah tragedi yang hampir merenggut nyawamu," ucap Pak Tio sambil memejamkan mata. "Nenekmu, Almarhumah Dahlia, menganut ilmu hitam demi keabadian dan awet muda," lanjutnya.

"Ia melakukan perjanjian dengan banyak jin. Salah satunya dengan iblis yang ada di dalam ragamu. Namun, iblis tersebut marah karena nenekmu tak kunjung memberikan tumbal."

***

Delapan belas tahun lalu ....

Suara tangisan bayi menggema di seluruh ruangan. Bapak dari anak itu menangis haru, penantiannya memiliki seorang anak pun terjadi. Sang Ibu yang masih lemah, tersenyum bahagia tatkala melihat bayinya memerah. "Anakku, anakku." Begitulah ucapnya setiap kali bayi itu digendong orang lain.

"Mau dikasih nama apa?" tanya bidan yang menangani persalinan Mawar. Kadir pun berbisik, nama ini mungkin sangat indah untuk putri cantiknya.

"Dayang," ucap Mawar. "Dayang Putri Arini."

"Subhanallah ... nama yang bagus. Sesuai dengan wajahnya yang cantik," ucap sang bidan. Mawar mengulum senyum, ia memberikan ASI ekslusif untuk yang pertama kali.

Di balik jendela sana, sosok wanita tua mengintip. Bak menandai calon mangsanya, ia tersenyum sinis. Garam dan air yang telah dibacakan do'a-do'a disemburkan ke sekeliling rumah. Konon, ini bisa mencegah hilangnya bayi karena dicuri makhluk gaib haus darah. Atau sebagai tumbal ilmu hitam. Saat itu, Dahlia gagal. Ia tak bisa mengambil cucunya karena penjagaan begitu ketat.

"Maaf, Tuan ... hamba gagal mencarikan makanan untuk Tuan. Kelak, hamba akan lebih berusaha lagi. Beri hamba waktu," ucap Dahlia sembari menangkupkan kedua tangan. Ruangan gelap, hanya ada tiga lilin sebagai penerang.

"Aku tunggu tumbal itu!"

Dua tahun berselang, Dayang sudah bisa berjalan. Gadis kecil itu ceria, manis, juga menjadi kebanggaan orang tuanya. Tetamu yang datang selalu mendo'akan. Entah untuk keselamatan dari mata jahat, atau demi kelancaran rezeki gadis mungil itu. Nenek Dahlia pun terlihat menyayangi cucunya meski ia jarang menyentuh.

Tengah malam, Dayang menangis kencang. Seperti disakiti oleh seseorang yang tak dapat dilihat, Mawar dan suaminya panik bukan main. Ia mencari Nenek Dahlia tapi tak kunjung bertemu. Entah ke mana orang tua itu ketika cucunya sedang membutuhkan pertolongan.

Tubuh Dayang membiru dan perlahan mengerut terlihat tua. Bibirnya seperti terbakar, ia tak bisa makan ataupun minum ASI. Ia bernapas tapi seakan-akan telah mati. Tak merespon apa pun ucapan kedua orang tuanya.

Awalnya, Mawar berpikir hanya penyakit biasa. Namun, sudah dua hari Dayang tak sembuh juga. Malah semakin parah. Kadang kala, mata gadis malang itu memutih. Perutnya membuncit dan mulutnya berdarah. Mawar semakin panik karena Dayang tak bisa makan atau minum. Hanya terbaring di tempat tidur, menatap kedua orang tuanya yang bingung mencari obat.

Tetangga yang mengunjungi merasa iba. Selama tiga minggu lamanya, Dayang menderita. Tidak makan, minum, dan buang air. Dibilang masih hidup tapi tubuhnya kaku dan berbau busuk. Dibilang sudah mati tapi napasnya masih berembus meski pelan dan nadinya juga lamban. Di saat seperti itu, kedua orang tuanya pasrah. Mengira sebentar lagi putrinya menjemput ajal.

Kebetulan, ada yang mengenal seorang dukun sakti. Mawar pun bergegas menuju rumah dukun itu dan meminta obat.

"Mbah, anak saya sudah begini sejak tiga minggu lalu. Makanan minuman nggak mau masuk. Kami takut dia kenapa-napa, Mbah," ucap Mawar memelas. Mbah Rondo mengusap wajah Dayang. Tiba-tiba, putri kecil itu menangis kencang.

"Anakmu disantet seseorang," ucap Mbah Rondo. "Santet ini berbahaya karena perlahan bisa membunuh orang," tambahnya lagi. Mawar memeluk putri kesayangannya, ia tak mau anaknya itu meninggal.

"Disantet siapa, Mbah?" tanya Mawar. Mbah Rondo menggumam, ia menggeleng pelan. Mungkin tidak tahu secara pasti, hanya samar-samar.

"Orang terdekat. Apakah Dayang cucu pertama keluarga ini?"

Mawar mengangguk. "Iya, benar, Mbah. Kok tahu?"

"Santet ini ditujukan untuk putrimu, karena dia satu-satunya keturunan yang lahir pada hari Jum'at kliwon. Dalam tradisi Jawa, Jum'at kliwon adalah hari keramat, santet dan segala macam ilmu hitam akan ampuh jika dikirim pada hari ini," jelas Mbah Rondo.

"Tapi, Mbah, apa tujuan si pengirim melakukan ini?" tanya Mawar sesenggukan.

"Bisa saja orang itu iri atau menyimpan dendam."

"Jadi, sekarang saya harus apa, Mbah? Saya tidak mau kehilangan Dayang. Kami susah mempunyai anak dan baru diberi kepercayaan. Tolong, Mbah ...," lirih Mawar. Mbah Rondo seperti membaca mantra. Ia membakar tiga dupa.

"Bisa disembuhkan," ucap Mbah Rondo. "Tapi, ada syaratnya."

"Sya-syarat apa, Mbah?" Ekspresi senang Mawar berubah sendu ketika Mbah Rondo memberitahu syarat itu. Mawar ragu apakah mampu memenuhinya?

"Saya nggak yakin bisa mendapat ayam hitam secepat itu, Mbah," ucap Mawar. "Di mana kira-kira ada yang menjualnya?"

Mbah Rondo mengantar Mawar ke hutan misterius. Kemudian, entah sedang membaca apa, Mbah Rondo seperti memanggil ayam hitam untuk segera mendatanginya. Beberapa saat kemudian, muncullah seekor ayam hitam jantan. Mbah Rondo pun mengambil ayam itu dan mengajak Mawar ke suatu tempat.

"Saya bantu dengan memberikan ayam ini," ucap Mbah Rondo. "Bisa diganti uang atau memberi makan penunggu pohon beringin setiap Jum'at," lanjutnya. Tanpa basa-basi lagi, Mawar mengangguk menyetujui. Ia tak berpikir bahwa sanggupkah melaksanakan syarat itu?

"Lalu apa, Mbah?"

"Tunggu besok, sekarang bukan hari baik."

***

Nenek Dahlia menatap cucunya yang terbaring tak berdaya. Entah mengapa, ia merasa iba. Tak tega melihat Dayang menderita seperti itu. Sempat berpikir bahwa sudah lama menginginkan seorang cucu, tapi demi keegoisan haruskah dikorbankan?

Hatinya melembut, ia tak jadi memberi tumbal Dayang kepada iblis itu. Ia tak tahan mendengar anaknya terus menangis sedih. Dayang tak merespon apa-apa. Mawar rindu memberinya ASI atau melihat Dayang berlarian. Ia ingin anaknya normal dan lekas sembuh.

Mawar tertidur di samping Dayang. Kadir sedang bekerja di kebun, ia menginap di rumah temannya. Nenek Dahlia pun melihat ayam hitam di luar rumah. Peka dengan apa yang akan dilakukan Mawar, Nenek Dahlia membawa Dayang dan ayam hitam itu pergi entah ke mana.

"Kau mau menyelamatkan cucumu?" tanya sosok bertaring panjang itu.

"Iya, Tuan. Hamba akan memberi gantinya, asal cucu hamba diselamatkan," jawab Nenek Dahlia. Sosok itu tertawa kencang. Ia mengangguk, kemudian menyuruh Nenek Dahlia menyembelih ayam itu sekali tebas.

"Jangan di sini! Pergilah ke kuburan tua sana. Cari kuburan yang masih basah," ucap sosok itu. Tanpa banyak cakap, Nenek Dahlia membawa cucunya dan ayam hitam ke kuburan tengah malam.

***

Mayang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang