"Kok lama?" tanya ibunya Mayang. Azmir dan Raka pun beradu tatap, kejadian di sepanjang perjalanan itu begitu pelik. Akan memakan waktu untuk bercerita.
"Nanti aja dijelasin, Bu. Yang penting sekarang nenek diperiksa dulu," ucap Tio. "Monggo, Pak."
Bapaknya Tio dituntun Mawar masuk ke kamar nenek. Ekspresi Tio sejak tadi memang aneh. Jika ia merasakan ada yang tak wajar, matanya liar mencari-cari sosok yang sekiranya berdiam di suatu tempat. Bapaknya juga memberi sinyal bahwa rumah ini berhantu dan bisa dibilang angker.
"Assalamu'alaikum ... semoga Allah senantiasa menjaga kita semua. Aamiin ...," ucap bapak Tio. Raka berjaga di luar sedangkan Azmir dan Tio duduk di kursi depan. Membincangkan kejadian janggal tadi yang menimpa keduanya.
"Oh, pas tadi aku tersesat, kamu juga hampir tersesat?" tanya Azmir memastikan usai Tio bercerita tentang sosok yang mirip mereka berdua—Raka dan Azmir.
"Iya, mereka mirip sama kalian. Bedanya sosok itu nggak bicara sama sekali, barulah kami diantar ke kuburan. Di situ aku sadar sosok tadi bukanlah kalian," ucap Tio.
"Sebelum aku tersesat juga ketemu hantu petani, serem banget. Sampe Raka ketakutan gitu. Makanya kami lama. Tau gini mending lewat jalan umum aja," jelas Azmir lalu mendesah kecil.
"Terus kok bisa kembali?" tanya Tio lagi.
"Ada gadis kecil yang kami tanyai, kebetulan dia lagi main di sekitar jalan. Namanya Diah," jawab Azmir. Tio manggut-manggut. Ia juga heran dengan kejadian tadi siang.
"AAAKH! LEPAS! SIAPA KAMU!"
Suara itu membuat orang di luar terkejut. Mereka langsung bangkit dan berlari menuju kamar nenek. Bapak Tio sedang berjuang di sana. Nenek memberontak kasar ketika dibacakan ayat ruqyah. Apakah ada jin lain yang bersemayam di tubuhnya?
"Astagfirullah, astagfirullah, ingat Allah!"
"SIAPA KAMU, HAH?! LEPAS! BERHENTI!"
"Tidak ada yang bisa memaksaku keluar dari sini! Aku adalah iblis terkuat, tak ada yang bisa mengalahkanku!" ucap nenek yang telah dirasuki makhluk gaib. Bapak Tio kian gencar membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Meski ia mulai kesakitan dan lelah. Tenaga iblis ini sangat besar. Pantas saja banyak yang gagal mencobanya.
Raka mengambil segelas air putih dan dibacakan do'a oleh bapak Tio. Setelah itu, nenek dipaksa meminum air tersebut. Syukurlah, iblis di tubuhnya sudah keluar. Nenek lemah dan kembali diam tak berdaya. Padahal tadi ia meronta-ronta tak mau ditahan.
"Astagfirullah ...," ucap bapak Tio. "Jinnya belum keluar. Dia masih ada di sekitar sini dan berniat masuk lagi. Bantu saya membaca Ayat Kursi," lanjutnya membuat seisi rumah ketakutan, termasuk Raka. Remaja itu berlari keluar lagi karena tatapan tajam nenek mengarah kepadanya.
Hawa ruangan mendadak dingin dan mencekam. Angin yang tiba-tiba datang entah darimana. Bapak Tio pun mendeteksi adanya aura jahat dan kelam di sini. Seperti ilmu hitam tapi sudah sangat lama. Karena tak kuat menahan energi yang ada, bapak Tio pun istirahat sejenak. Membiarkan nenek yang masih dengan mudah dirasuki jin.
"Masya Allah ... besar sekali kekuatan jin itu. Sepuluh kali lebih kuat dibanding jin biasa. Lahaula wala kuwwata illah billah ...."
Raka memberikan air minum, napas bapak Tio tersengal-sengal.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Pak? Ibu saya kenapa?" tanya Mawar khawatir. Bapak Tio mendecak, bangkit, dan menengok ke kamar nenek lagi.
"Saya mau tanya. Apakah keluarga ini pernah membuat perjanjian dengan jin di masa lampau?"
Mawar menggeleng, ia tak tahu apa-apa tentang perjanjian apa pun. "Nggak tahu, Pak."
"Atau beliau yang membuat perjanjian ini? Karena jin tersebut meminta janji yang pernah diucapkan dulu," lanjut bapak Tio memberitahu hasil terawangnya. Mawar dan Raka kebingungan. Sedangkan Azmir memang sudah menduga ada yang tak beres dengan keluarga ini.
"Iya, Pak. Saya juga sudah menduga hal itu. Nenek Mayang ini aneh tingkah lakunya. Masa sama cucu sendiri jahat banget," ucap Azmir blak-blakan.
Raka menyenggol Azmir, tidak seharusnya mengatakan hal itu di depan Mawar.
"Mas ini gimana, sih? Ada anaknya, lho!" bisik Raka.
"Ah, masa bodoh. Emang kenyataan, 'kan? Ada, ya nenek sama ibu nggak sayang sama anak sendiri?" Azmir emosi, lantas mendekati Mawar yang terlihat pasrah.
Binar matanya mengatakan maaf secara tersirat, tapi Azmir tak peduli hal itu. Ia muak dengan sikap orang tua Mayang yang keterlaluan. Begitukah memberi kasih sayang?
"Saya udah lama diam, bukan berarti nerima apa aja yang mereka lakukan ke calon istri saya," ucap Azmir. "Nenek dan ibu sama aja, Pak! Mereka tega mengikat dan kurung Mayang di kamar. Saya tahu Mayang membahayakan tapi apa harus diperlakukan seperti itu?" lanjutnya. Raka yang melihat emosi kakaknya meledak-ledak, ingin menahan tapi ditepis.
"Memangnya Mayang kenapa?" tanya Tio.
"Nanti saya jelaskan. Yang terpenting adalah, saya nggak rela Mayang tersiksa seperti itu. Sekarang saya tanya, Mayang menghilang hampir seminggu, adakah yang mencari? Adakah yang peduli?"
Mawar bingung, ia juga khawatir tapi tak tahu harus mencari ke mana. "Saya bahkan sudah mengira Mayang sudah meninggal," ucapnya yang langsung membuat emosi Azmir memuncak.
"Lihat! Ibu macam apa begini?"
"Bu, selama ini saya diam karena menghormati. Status Ibu jika saya sudah menikah adalah mertua. Tapi ke mana hati nurani ibu sampai menyiksa anak sendiri?"
"Saya sayang sama Mayang! Siapa bilang saya benci sama dia? Saya kurung dia karena permintaan neneknya. Beliau takut jika Maria muncul dan menyakiti banyak orang," jelas Mawar dengan nada tinggi. Ia tak rela disudutkan seperti itu. "Saya kira dia sudah mati karena bisa aja Maria menyakiti dirinya sendiri."
Akhirnya, bapak Tio pun angkat bicara. Ia benci ada keributan di sini padahal bisa dibicarakan baik-baik. Namun, sebagai calon suami, Azmir sudah sangat tersulut emosi.
"Maria itu siapa?" tanya bapak Tio. Azmir pun melirik ke arahnya, mengulum senyum.
"Maria itu ib—" Ucapan Mawar terpotong karena Azmir menatapnya tajam; menyuruhnya agar diam.
"Nanti bapak langsung terawang aja, ya. Jadi jelas si Mayang kenapa," ucap Azmir. Mawar pun mendongak, apa maksudnya?
"Az ... ka-kamu? Mayang?"
"Ya, Bu. Mayang tinggal di rumah saya sekarang. Apa ibu pikir saya tega melihat dia disiksa begitu? Sejak ibu melarang saya menjenguknya seminggu yang lalu, di situ saya berjanji pada diri sendiri akan membawa Mayang pergi," jelas Azmir begitu bangga. "Mayang memang sudah mati, tapi bagi ibu dan kalian sekeluarga," lanjutnya begitu menusuk. Ia bangkit dan keluar rumah, tak tahan berada di dalam ruangan sesak ini.
Bapak Tio hanya menggelengkan kepala. Sifat kekanakan Azmir masih terlihat. Raka dimintai untuk mengambil dua gelas air putih lagi. Setelah itu, bapak Tio pun membacakan do'a-do'a dan menyemburkannya di sekitar rumah. Satu gelas lain untuk diberikan kepada nenek sebagai penghilang aura jahat.
"Jadi, gimana, Pak? Ibu saya sudah sembuh?" tanya Mawar ketika diberikan segelas air putih.
Bapak Tio menggeleng pelan. "Beliau tidak akan sembuh kalau masih menganut ilmu hitam dan janji jin itu terpenuhi," jawabnya.
"Janji apa, sih, Pak?"
"Itu yang belum saya ketahui. Besok saya ke sini lagi. Jaga beliau."
Mawar mengangguk. Keempat orang itu akan segera pulang. Mawar mengantar mereka sampai ke depan pintu gerbang. Suasana hati Azmir tidak baik saat ini. Ia mengabaikan perkataan Raka sejak tadi. Begitu malas merespon pertanyaan yang tidak penting.
"Yaaah ... ngatain gue bocah, dia sendiri marah kayak bocah!" gumam Raka dalam hati.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang [END]
Mystery / ThrillerTELAH TERBIT || Part Dihapus Acak! Order novelnya agar bisa membaca keseluruhan -Versi mini seri segera ditayangkan!- Plagiator Harap Menjauh! Pelajari undang-undang hak cipta agar Anda tidak dijatuhi hukum. *** Luka .... Bisakah aku menahannya? Sa...