Luka Mayang 16

1.3K 60 3
                                    

Hari sudah malam, sampai detik ini, tidak ada tanda-tanda Mawar curiga dan menelepon Azmir. Pintu kamar Mayang selalu tertutup, alhasil tidak ada yang tahu kalau wanita itu telah dibawa lari kecuali mereka memastikan sendiri. Azmir sudah menyiapkan beberapa alasan untuk mengelabui Mawar.

Ini semua dilakukan agar Mayang tetap aman di sini. Berbohong demi kebaikan tidak masalah, bukan? Azmir hanya ingin yang terbaik, bukan bermaksud jelek. Ia menelepon Kadir dan ingin mengajaknya bekerja sama. Semoga saja pria itu tidak menolak.

"Gimana, bisa?" tanya Azmir di telepon.

[Ok, bisa diatur. Cuma masalah sepele. Ada baiknya aku membantu calon mantu, 'kan?]

Azmir menutup telepon dan mendengkus kasar. Setengah percaya, setengah tidak. Jika laki-laki itu sampai membuka mulut, Mayang akan kembali disiksa di rumah itu. Tidak, jangan lagi. Sudah cukup beberapa hari kemarin. Mayang sudah bernapas lega, jangan dilempar ke kandang singa yang sama.

***

Setelah pulang dari rumah Bik Rosita, Dahlia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Mawar pun bergegas menyiapkan tempat tidur karena hari semakin larut. Seharian di rumah Bik Rosita, Mawar belajar banyak hal. Tentang keberadaan mereka yang suka mengusik ketenangan manusia.

"Bu, gimana caranya membuktikan kalau di rumah Bik Ros itu ada hantunya?" tanya Mawar ketika keduanya sedang berbaring di depan televisi.

"Kita pakai cara lama aja. Ibu tau di mana tempat jin itu bersembunyi," jawab Dahlia, turut membuat Mawar penasaran.

"Iya, Bu. Kasihan Alitha diganggu terus. Anak kecil 'kan emang bisa ngelihat kayak gitu."

"Dulu tetangga sebelah juga pernah diganggu. Ibu letakkan segelas air putih di belakang pintu kamar anaknya. Besoknya air itu jadi hitam pekat. Pertanda ada jin yang bersemayam di tempat itu. Kita pakai cara ini aja dulu," jelas Dahlia. "Oh, iya. Mayang sudah makan?"

Mawar mendelik, ditatapnya pintu kamar Mayang yang tertutup rapat. Tentu saja belum makan. Dari pukul sembilan pagi tadi hingga satu jam sebelum pergantian hari, mereka berdua meninggalkan rumah.

"Belum lah, Bu. Besok aja lah, capek aku," jawab Mawar begitu tega. Membiarkan anaknya kelaparan di dalam sana. Untunglah Mayang tak mendengar perkataan itu, kalau tidak, ia akan menangis dan bersedih lagi. Menganggap tidak ada yang peduli.

"Ya, sudah terserah kamu," ucap Dahlia sembari memencet remot televisi.

Harus dicurigai sebenarnya, mengapa keluarga ini begitu abai dan seakan-akan Mayang bukanlah anak kandung. Mayang adalah anak tunggal, setelah melahirkan May dua puluh tahun lalu, Mawar susah hamil. Segala usaha dilakukan agar ia dapat mengandung lagi, tapi semuanya sia-sia. Rencana ingin menjalankan program bayi tabung. Namun, biayanya begitu besar, Kadir tak sanggup untuk itu.

Keluarga ini tinggal di daerah yang lekat dengan kepercayaan leluhur. Mereka menjunjung tinggi adab dan mitos-mitos yang beredar. Termasuk Dahlia. Nenek itu sering membantu mengatasi temannya yang diganggu makhluk halus. Namun, mengapa kasus cucunya sendiri, tak bisa ia sembuhkan?

Adakah hal lain yang terlalu besar untuk dibocorkan?

***

"Dek ... ngapain?" tanya Azmir berbasa-basi. Mayang mendongak, tersenyum manis.

"Nggak ngapa-ngapain," jawabnya datar. "Mas ...."

"Dalem, Dek."

"Makasih, ya."

"Buat apa makasih?"

"Karena udah setia, masih mau sama aku walaupun keadaannya hancur begini. Kalau laki-laki lain mungkin udah ninggalin terus nikah sama yang lain," jawab Mayang.

"Kembali kasih."

"Udah, yang penting sekarang kembaliin dulu berat badanmu. Kasihan Mas lihatnya. Kalau mau makan apa-apa bilang aja. Jangan keluar rumah." Mayang mengulum senyum, lalu mengangguk pelan. "Oh, iya, Dek. Mas ada mau cerita."

"Apa, Mas?"

Azmir pun menceritakan pengalamannya bertemu sosok wanita misterius di tengah jalan. Sambil mengunyah makanan, Mayang begitu serius mendengar cerita kekasihnya itu.

"Mukanya Mas lihat?"

Azmir menggeleng. "Lihat tapi nggak begitu jelas. Dia selalu menunduk. Waktu Mas antar dia pulang aja diem mulu, nggak ngomong. Kecuali pas mau nyampe," jawab Azmir.

"Tatapannya kosong? Ah ... gini, Mas. Aku rasa mungkin dia bukan manusia. Waktu kecil May juga pernah begitu. Alhasil langsung diobati Nenek. Mas hati-hati aja, jangan sembarangan ambil orang. Apalagi itu cewek," jelas Mayang tanpa henti. Membuat pria di hadapannya gemas. Tak sendiri. Tak pernah melihat kekasihnya begitu lincah dan sedikit agresif. Cemburu? Entahlah.

"Kamu kenapa?" tanya Azmir iseng. Pipi Mayang memerah, semerah kepiting rebus, imut sekali.

"Apa? Emangnya aku kenapa? Nggak papa kok," ucap Mayang lalu menunduk. Ia memainkan sendok dan menaruhnya di atas piring. Salah tingkah sepertinya.

"Emang kenapa nggak boleh ambil penumpang cewek lagi?" Lagi-lagi Azmir menggoda. Pria itu membekap mulut menahan tawanya.

"Ya ... 'kan siapa tau bukan manusia," jawab Mayang gugup.

"Takut bukan manusia atau ...." Azmir mengusap dagunya, bermaksud memancing  kemarahan Mayang.

"Tapi kayaknya enak, sih jalan berdua sama cewek. So sweet gitu," lanjutnya kembali membuat emosi Mayang naik ke ubun-ubun.

Wanita itu mendengkus kesal, geram. Namun, ia berusaha menyembunyikan ekspresi kekesalan itu karena tahu Azmir sedang menggodanya.

"Ya, udah tumpangin aja cewek lain." Mayang cemberut. Sedangkan Azmir di sana tertawa terbahak-bahak. Ia berhasil membuat kekasihnya marah, emosi karena cemburu.

Tiba-tiba, seseorang datang menengok, mengacaukan waktu berdua mereka.

"Ups, maaf. Ada tunangan lagi nge-date, nih," ucap Raka—adik laki-laki Azmir yang berstatus mahasiswa. "Kalian berdua dipanggil Ibu makan sama-sama," lanjutnya.

"Dasar, bocah ganggu aja. Dah sana pergi. Nanti kami nyusul," ucap Azmir.

Beberapa saat setelah Raka pergi, seseorang masuk lagi. Salah mereka berdua sepertinya. Tak menutup pintu demi kenyamanan bersama.

Eh?

"Ditungguin daritadi, makanannya dingin nanti, lho. Nanti lagi mesra-mesraannya, wong Mayang 24 jam sama kamu terus kok," ucap Ihda lalu mengulum senyum.

Mayang terkekeh, ia menyuruh Azmir untuk makan dulu karena dia sudah kenyang.

"May wes ma'em, Buk."

"Yowes, Ibuk pinjem Mas kamu bentar, ya," ucapnya lalu menarik tangan Azmir keluar kamar. Keluarga ini begitu hangat dan lucu. Selalu harmonis. Tak seperti keluarga Mayang yang penuh rahasia dan teka-teki. Mencekam; tanpa ada titik terang. Ayahnya biadab, nenek dan ibunya seakan tak menginginkan Mayang lahir ke dunia.

Usai makan, Azmir kembali menengok wanita itu. Mayang merenung di dekat jendela, dagunya bertumpu pada kedua tangan. Sibuk memikirkan sesuatu, tenggelam dalam imajinasinya sendiri.

"Mikirin apa?" tanya Azmir tiba-tiba menepuk pundaknya. Mayang terkejut dan menoleh.

"Emm ... nggak ada, Mas."

"Bohong. Itu lagi melamun, nggak mungkin kosong aja pikirannya."

"Aku cuma iri sama Mas. Punya keluarga yang romantis, penyayang, baik. Sedangkan aku?" Sebenarnya, Azmir sedikit malas membahas hal ini. Waktu bersama mereka digunakan sebaik-baiknya. Jangan ada air mata lagi.

"Ma-maaf, Mas. Aku diam aja," lanjut Mayang setelah melihat ekspresi tak menyenangkan dari wajah tunangannya.

"Iya, memang lebih baik kamu diam," ucap Azmir lalu bangkit dan pergi. Mayang merasa bersalah, tak seharusnya ia mengatakan hal itu.

"Mas ...," panggilnya pelan. Namun, pria itu tidak menoleh, ia membuka pintu dan pergi.

***

Bersambung.

Nyantai dulu, lah. Nggak enak tegang mulu :*

Mayang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang